REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Pemerintah untuk mengimpor beras yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan telah merugikan petani dengan adanya perubahan harga pembelian gabah di level petani. "Signal effect ini diterima oleh para pedagang beras sebagai bentuk adanya tambahan pasokan dalam waktu dekat, sehingga mereka menekan petani dengan membeli harga gabah yang lebih murah." ujar Ekonom Indef, Bhima Yudhistira kepada Republika.co.id, Sabtu (20/3).
Menurut Bhima, kondisi serupa juga terjadi pada sisi petani di luar negeri, khususnya di Thailand dan Vietnam, di mana kedua negara tersebut menjadi pasokan harga beras internasional. Ketika ada sinyal pemerintah Indonesia ingin impor, maka harga beras internasional menjadi semakin mahal karena ekspektasi terjadi akibat kenaikan permintaan di pasar Indonesia.
Jadi, signal effect ini akan memperburuk daya tawar petani. "Pemerintah tidak bisa dengan enteng jawab ini baru rencana, karena mekanisme harga di level petani juga berkaitan erat dengan rencana impor beras." kritik Bhima.
Bhima menilai, apabila sudah sampai tersebar ke publik, besar kemungkinan pemerintah akan tetap menjalankan importasi tahun ini, meskipun banyak penolakan dari berbagai pihak. Hal yang menjadi salah satu kesalahan besar Pemerintah adalah melempar wacana tersebut jelang panen raya.
Kesalahan lain adalah impor tidak mempertimbangkan kondisi permintaan yang masih rendah.
"Juga masih ada masalah terkait data Badan Pusat Statistik (BPS) yang faktanya kebijakan pemerintah seperti tidak mempertimbangkan data luasan lahan dan produksi yang dikeluarkan BPS." papar Bhima.
Merujuk data BPS, produksi beras tahun 2020 mencapai 31,63 juta ton atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 31,31 juta ton. Angka produksi tersebut diperoleh dari luas panen padi 2020 mencapai 10,79 juta hektare atau mengalami kenaikan 108,93 ribu hektare atau 1,02 persen dibandingkan luas panen tahun 2019 yang sebesar 10,68 juta hektare.
BPS juga menyebutkan bahwa potensi produksi padi Januari-April 2021 diperkirakan mencapai 25,37 juta ton Gabah Kering Giling. Artinya potensi produksi beras sepanjang Januari-April 2021 mencapai 14,54 juta ton beras. Ini naik sebesar 3,08 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun 2020 lalu.
Dengan adanya data ini, tidak tepat jika Pemerintah berencana akan impor beras. "Jika mengacu pada data tersebut ditambah lagi dengan situasi yang berkembang saat ini, rencana penting impor beras harus dikaji lebih jauh. Sekali lagi, rencana ini akan berdampak kepada petani dalam negeri kita," kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih.
Ia mengkritisi Pemerintah yang mengumumkan rencana ini dengan mengabaikan situasi petani di dalam negeri. Saat ini berbagai wilayah di Indonesia akan memasuki masa panen raya.
Akibatnya, petani padi dihadapkan pada situasi merosotnya harga gabah. Misalnya, di Tuban harga gabah mencapai Rp 3.700. Harga tersebut di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 4.200.
"Begitu juga di beberapa wilayah lainnya seperti Banyuasin, Aceh dan Nganjuk, harga di tingkat petani berada di bawah HPP. Pemerintah seharusnya berusaha mengatasi hal ini terlebih dahulu, jangan buru-buru merencanakan impor," tegasnya.
Sementara itu Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi pada Kamis (18/3) menegaskan bahwa rencana impor beras hanya untuk menstabilkan harga beras. Pemerintah tidak ingin harga beras melonjak saat pandemi dan di saat yang sama tidak akan menurunkan harga gabah kering petani.
Menurut Lutfi, pemerintah tetap menjamin harga beras dan gabah kering petani tetap stabil meskipun Indonesia tengah dilanda pandemi. Ia menyebut bahwa rencana impor satu juta ton akan menurunkan harga beras merupakan asumsi yang tidak tepat.
"Tidak ada niat pemerintah untuk menurunkan harga petani terutama saat panen raya. Sebagai contoh, harga gabah kering petani itu tidak diturunkan," tutur Lutfi.
Mendag juga menyatakan, rencana ini bukan untuk menjatuhkan harga beras petani, terutama saat petani sedang panen raya. Pemerintah hanya merasa perlu memperhatikan kestabilan stok dan harga pangan, karena harga beras sangat mungkin dipermainkan spekulan.