REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengharapkan adanya upaya pemerintah untuk mengantisipasi pergerakan harga pangan yang cenderung naik menjelang Ramadan dan Idul Fitri.
Felippa dalam pernyataan di Jakarta, Jumat (19/3), mengatakan antisipasi ini perlu karena beberapa provinsi mulai mengalami defisit karena pasokan pangan seperti beras, jagung, gula, cabai, bawang putih, bawah merah, dan telur, mulai terbatas.
Selain itu, menurut dia, proses distribusi pasokan tersebut di beberapa daerah juga sempat terhambat karena adanya implementasi kebijakan pembatasan sosial.
"Rentetan peristiwa yang menandai fluktuasi harga komoditas pangan, terutama yang termasuk pada komoditas pokok dan ketersediaannya dipenuhi lewat impor, idealnya sudah bisa dijadikan parameter dalam mengambil kebijakan," katanya.
Ia mencontohkan salah satu bahan makanan yang masih mengalami kenaikan harga sejak awal 2021 adalah daging sapi yang di antaranya disebabkan oleh peningkatan harga sapi bakalan dari Australia.
Kondisi itu saat ini tidak mengkhawatirkan karena permintaan masyarakat masih landai, tapi permintaan diperkirakan akan tinggi menjelang perayaan Ramadan dan Idul Fitri. "Untuk itu ketersediaan stok yang memadai sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan harga pangan, terutama komoditas yang tergolong pokok dan sumber ketersediaannya sebagian besar berasal dari impor," katanya.
Ia juga mengingatkan langkah apapun yang ditempuh untuk mengamankan stok maupun distribusi pangan sebaiknya dilakukan berdasarkan data yang akurat serta mempertimbangkan panjangnya rantai pasokan.
"Tentu saja selain fluktuasi harga, data produksi pangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi sangat penting dalam menentukan kebijakan. Proses panjang importasi juga perlu diingat sehingga timing masuknya komoditas pangan impor tidak merugikan petani," kata Felippa.