REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Kebijakan Publik dari Sudut Demokrasi Research & Analysis (SUDRA) Afditya Iman Fahlevi menilai, kebijakan impor beras adalah keputusan yang kurang tepat. Menurutnya, itu merupakan keputusan yang tidak masuk akal sementara produksi beras nasional tengah meningkat.
"Beras kita surplus tiba-tiba masuk jutaan ton beras impor di tengah panen raya," kata Afditya Iman Fahlevi dalam keterangan, Kamis (18/3).
Dia mengatakan, di tengah panen raya petani, sebaiknya pemerintah membantu mereka untuk memperluas kapasitas penyerapan padi. Karenanya, pemerintah diharapkan bisa mengevaluasi kebijakan ini serta mampu merasakan dan memahami tiap tetes keringat para petani kita.
Dia mensinyalir, kebijakan impor beras dilakukan bukan dalam rangka persoalan ekonomi. Melainkan, sambung dia, karena adanya indikasi upaya politik yang dirumuskan dalam sebuah kebijakan.
"Bisa disinyalir, kebijakan ini bukan persoalan ekonomi melainkan juga persoalan politik yang dirumuskan dalam kebijakan negara," katanya.
Menurutnya, jika memang impor harus dilakukan, maka sebaiknya berdasarkan kebutuhan yang riil dan bukan dalam rangka perburuan rente. Dia menilai, celah ini sulit dihindari bila memang kebijakan ini benar terjadi.
"Kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan kaum elit dan merugikan rakyat adalah wujud nyata dari pola-pola dari institusi politik dan ekonomi ekstraktif, memperkaya segelintir orang tetapi menyengsarakan banyak jiwa," katanya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, bahwa rencana impor beras dilakukan guna menstabilkan harga beras. Dia mengatakan, pemerintah tidak ingin harga beras melonjak saat pandemi dan di saat yang sama tidak akan menurunkan harga gabah kering petani.
Dia menyatakan, sejak awal pemerintah sama sekali tidak berniat menjatuhkan harga beras petani terutama saat petani sedang panen raya. Menurutnya, harga beras sangat mungkin dipermainkan spekulan.