Kepala Dewan Eropa Charles Michel menyatakan, Uni Eropa sedang mempersiapkan sanksi untuk junta militer Myanmar. Hal itu diumumkan saat gelombang demonstrasi menentang kudeta di negara tersebut telah menyebabkan sedikitnya 38 orang tewas.
“Membunuh warga sipil yang tidak bersalah bisa dan tidak akan dibiarkan begitu saja. Uni Eropa sedang mempersiapkan tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab," kata Michel melalui akun Twitter pribadinya pada Kamis (4/3).
Dia mendesak pasukan keamanan Myanmar menghentikan aksi kekerasan brutal terhadap para pengunjuk rasa. Sebelumnya, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell turut mengutuk tindakan represif aparat keamanan Myanmar dalam menangani gelombang demonstrasi menentang kudeta.
Borrell secara khusus menyoroti aksi penembakan yang menelan nyawa warga sipil. "Dalam penembakan terhadap warga yang tidak bersenjata, pasukan keamanan telah secara terang-terangan mengabaikan hukum internasional, dan harus dimintai pertanggungjawaban," ujarnya.
Stop the cycle of violence against peaceful protesters in #Myanmar
Democratic process must be restored.
Killing of innocent civilians can and will not go unpunished. #EU is preparing measures against those responsible.
— Charles Michel (@eucopresident) March 4, 2021
Junta militer Myanmar menyatakan siap untuk menerima sanksi dari dunia internasional terkait kudeta yang mereka lakukan pada 1 Februari lalu. Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan, dalam percakapan dengan wakil panglima militer Myanmar Soe Win, dia telah memperingatkan bahwa militer akan menghadapi tindakan keras dari beberapa negara dan isolasi sebagai tanggapan atas kudeta,
"Jawabannya adalah: 'Kami terbiasa dengan sanksi dan kami bisa selamat'. Ketika saya juga memperingatkan bahwa mereka akan diisolasi (oleh dunia internasional), jawabannya adalah: 'kita harus belajar berjalan hanya dengan beberapa teman'," ujar Burgener.
Burgener mengatakan, Soe Win menyatakan bahwa junta akan mengadakan pemilihan umum ulang setelah satu tahun. Burgener terakhir berbicara dengan Soe Win melalui sambungan telepon pada 15 Februari. Kini, Burgener berkomunikasi dengan junta militer Myanmar menggunakan surat.
Kudeta militer terjadi di Myanmar pada 1 Februari yang menggulingkan pemerintahan sipil. Militer menangkap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh politik berpengaruh lainnya. Selain itu, militer sempat mematikan layanan internet untuk membungkam kritik para aktivis dan masyarakat di media sosial. Kudeta militer tersebut menuai kecaman dan aksi protes besar-besaran di Myanmar.
Militer menyatakan, kudeta dilakukan karena ada kecurangan dalam pemilu 8 November, yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. Komisi Pemilihan Umum Myanmar menolak tuduhan tersebut.
Burgener menduga, militer Myanmar berupaya untuk melumpuhkan NLD dengan menangkap sejumlah tokoh-tokoh utama partai tersebut. Pada akhirnya NLD akan dilarang dan militer mengadakan pemilihan umum ulang untuk meraup suara serta berkuasa.
“Jelas, menurut saya, taktiknya sekarang adalah menyelidiki orang-orang NLD untuk memenjarakan mereka. Pada akhirnya NLD akan dilarang dan kemudian mereka mengadakan pemilihan baru, di mana mereka ingin menang, dan kemudian mereka dapat terus berkuasa," kata Burgener.