Kamis 18 Feb 2021 06:53 WIB

65 Persen Remaja Mengeluh Kurang Belajar Selama Pandemi

Orang tua harus waspada sejak awal dan membantu remaja melewati kondisi tersebut.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Qommarria Rostanti
Remaja belajar daring selama pandemi Covid-19.
Foto: ANTARA/Ahmad Subaidi
Remaja belajar daring selama pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Selama pandemi Covid-19 berlangsung, kegiatan belajar terpaksa dilaksanakan secara daring. Kondisi itu turut mempengaruhi kondisi remaja yang terbiasa melakukan aktivitas luring, sehingga kondisi kejiwaannya patut diperhatikan.

Dosen Fakultas Kedokteran UII, dr Baiq Rohaslia Rhadiana, menilai remaja menjadi aset bangsa dengan karakteristik unik. Sebab, pada usia 10-19 tahun akan muncul perasaan ingin diakui dan diterima, senang hal-hal baru dan mengembangkan diri.

Dia berpendapat, remaja biasanya lebih cenderung suka berkelompok dan menentang orang dewasa yang ada di sekitarnya. Namun, Baiq menekankan, sikap itu bukan lantaran mereka ingin melawan, namun karena gaya komunikasi yang berbeda. "Sehingga, orang tua harus menyesuaikan gaya bicara agar memperkecil konflik," kata Baiq dalam seminar daring yang diadakan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Rabu (17/2).

Baiq menyebut, ada perbedaan antara remaja selama pandemi dan sebelum pandemi. Sebab, sebelum pandemi terjadi mereka bebas beraktivitas, bermain, bersosialisasi bersama temannya dan melakukan banyak variasi kegiatan sekolah dengan tatap muka.

Namun, selama pandemi berlangsung satu tahun terakhir ini banyak aktivitas yang berubah karena terisolasi di rumah bersama keluarga. Bagi remaja yang memiliki masalah komunikasi dengan keluarga, kondisi itu menjadi tantangan yang berat.

Hal tersebut akan memicu rasa bosan dan keinginan untuk berbagi sesama teman. Hal lain yang berubah pembelajaran daring karena kita semua diharuskan beradaptasi, yang sebelumnya biasa dilakukan luring, sekarang lebih banyak di depan gawai.

"Pandemi membuat 65 persen remaja mengeluh kurang belajar karena efek pandemi. Lalu, sembilan persen remaja percaya mereka akan gagal, 50 persen remaja berisiko depresi, dan 17 persen remaja menderita gangguan mental," ujar Baiq.

Dia menjelaskan, gejala depresi yang muncul ketika remaja seperti tampak sedih berkepanjangan, kehilangan minat, dan mudah lelah. Selain itu, tidur terganggu, muncul gagasan tentang rasa bersalah dan perbuatan berbahaya seperti bunuh diri.

Untuk itu, Baiq mengingatkan, orang tua harus waspada sejak awal dan membantu remaja melewati kondisi tersebut. Sebagai orang tua harus mulai melihat pandemi dari sisi berbeda, harus merangkul remaja lebih dekat dan banyak mendengarkan.

"Mengajak kebiasaan baru yang positif seperti berkebun, memasak dan menonton film bersama," kata Baiq. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement