Selasa 16 Feb 2021 02:44 WIB

Cerita Mereka yang Pulihkan Mental Usai Terpapar Covid-19

Pemulihan mental sama pentingnya dengan fisik bagi para penyintas Covid-19.

Pasien covid-19 menaiki ojek daring untuk meninggalkan tempat isolasi Graha Wisata Ragunan di Jakarta. Pemulihan mental sama pentingnya dengan fisik bagi para penyintas Covid-19
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pasien covid-19 menaiki ojek daring untuk meninggalkan tempat isolasi Graha Wisata Ragunan di Jakarta. Pemulihan mental sama pentingnya dengan fisik bagi para penyintas Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memulihkan batin yang carut-marut setelah diri sendiri atau orang terdekat terinfeksi Covid-19 sama pentingnya dengan memulihkan kondisi fisik.

Ketika suaminya dinyatakan positif Covid-19, Anita Rosalina mungkin merasa sendirian tanpa pertolongan jika saja dia tidak mendapat dukungan dari teman-teman terdekat. Beberapa kali dia mengalami serangan panik.

Dia merasa khawatir terinfeksi. Bahkan, dia mengalami gejala-gejala seperti demam, gemetar, diare, sakit tenggorokan, dan merasa dingin di bagian telapak tangan dan kaki meski hasil tes usap PCR negatif.

Anita menyadari, dia membutuhkan bantuan lebih lanjut dari orang yang profesional. Dia kemudian menghubungi psikolog yang menyarankannya melatih mindfulness ketika serangan panik datang.

"Kita hadir di momen itu, pikiran yang utama, dengan memberikan rangsangan pada sensor seperti memegang sesuatu, membaui sesuatu, mengamati dan menggambar objek,” kata Anita seperti dikutip dari Antara, Senin (15/2).

Dengan demikian, dia bisa menepis pikiran liar yang mengganggu ketenangan batin. Di rumah, Anita menjaga protokol kesehatan dan menjaga jarak dengan suami yang menjalani isolasi mandiri. Kamar tidur, toilet, sampai peralatan makan dipisahkan agar tidak ada risiko tertular.

Dia juga menanamkan pikiran positif bahwa risiko tertular bisa ditekan selama dia tetap disiplin menjalani protokol kesehatan. Makanan bergizi dan vitamin menjadi asupan utama agar daya tahan tubuh tidak menurun.

"Untuk kesehatan mental, saya terhubung dengan keluarga dan teman-teman yg sangat suportif. Mereka mengecek keadaan saya beberapa kali sehari melalui telepon atau Whatsapp," lanjut Anita.

Untungnya, masyarakat sekitar rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur, tidak memberi stigma buruk karena sudah paham Covid-19 bisa menimpa siapa saja.

Tapi, masih ada stigma mengenai Covid-19 di sekitar lingkungan Sella Gareta, seorang penyintas Covid-19 yang berdomisili di Tangerang. Sella sejak awal sudah menyiapkan diri untuk menerima situasi bahwa tidak mudah untuk diterima kembali di masyarakat setelah terpapar Covid-19.

"Sebetulnya bukan hanya masyarakat, kita sendiri juga otomatis tidak mudah kembali ke masyarakat. Secara alami, masih ada perasaan takut menularkan, padahal sudah tidak," kata Sella.

Perlahan, dia mulai terbiasa dengan situasi tersebut dan kondisi psikisnya mulai pulih. Saat ini, dia banyak beraktivitas di dalam rumah dan tidak berinteraksi langsung dengan orang-orang di luar rumah. Komunikasi dilakukan lewat media sosial.

Bila terpaksa harus bertemu langsung, dia selalu memakai masker dan menjaga jarak. Sebagai usaha menyampaikan informasi yang benar kepada lingkungan sekitar, Sella mengirimkan video-video yang bisa menghapus stigma soal penyintas Covid-19 di masyarakat.

"Saya berharap, masyarakat semakin paham," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement