REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit menegaskan, pihaknya bakal lebih selektif dalam penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Langkah tersebut dilakukan untuk menghindari adanya upaya saling lapor menggunkan pasal-pasal yang dianggap karet dalam UU tersebut serta anggapan kriminalisasi menggunakan UU ITE.
"Untuk menjaga agar penggunaan pasal-pasal yang dianggap pasal karet di dalam UU ITE yang ini tentunya berpotensi untuk kemudian digunakan untuk melaporkan atau saling melapor, atau lebih dikenal dengan istilah mengkriminalisasikan dengan UU ITE ini bisa ditekan dan dikendalikan," tegas Listyo, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (15/2).
Mantan Kabareskrim itu menegaskan, pihaknya akan lebih mengedepan edukasi, persuasi dengan langkah-langkah yang bersifat restorative justice. Dengan begitu, kata Sigit, penggunaan ruang siber dan digital bisa berjalan dengan baik, namun ia memberi catatan, dalam bermedia sosial harus tetap mematuhi aturan serta etika yang berlaku.
"ITE juga menjadi catatan untuk kedepan betul-betul kita bisa laksanakan penegakan hukum secara selektif dengan mengedepankan edukasi, mengedepankan sifat persuasi dan kemudian kita upayakan untuk langkah-langkah yang bersifat restorative justice," tutup Listyo Sigit.
Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar sebelumnya, menyarankan pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 dicabut dari UU ITE. Sebab, UU ITE itu ketika dibuat dengan semangat mengatur bisnis dan perdagangan melalui internet (online).
"Itu tidak cocok, ada ketentuan yang mengatur tentang pencemaran nama baik atau ujaran yang menyebabkan permusuhan berdasarkan suku agama ras dan antargolongan. Bisnis kan tidak mengenal agama atau suku. Jadi, justru pasal 28 ayat 2 UU ITE itu justru mengaburkan substansi UU tersebut," kata Fickar.
Lalu, Fickar melanjutkan, pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE pada prakteknya justru digunakan untuk membungkam suara yang berbeda dan mengkritik pemerintah. Penerapan UU ITE ini, menurutnya, mengesankan seolah-olah penegak hukum kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik.
"Demikian berarti, penggunaan ketentuan pasal itu sengaja digunakan sebagai untuk mengejar pangkat dan jabatan oleh para penegak hukum kepolisian dan kejaksaan. Seharusnya pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE masuk dalam UU Pidana (KUHP)," kata dia.