Senin 15 Feb 2021 18:10 WIB

JK Bicara Soal Jokowi yang Minta Dikritik dan Dilema Rezim

'Bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?' tanya JK.

Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla bersiap mengikuti peringatan HUT PMI ke-75 secara virtual di Markas PMI, Jakarta, Kamis (17/9/2020). Peringatan HUT PMI ke-75 mengusung tema Solidaritas Untuk Kemanusiaan.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla bersiap mengikuti peringatan HUT PMI ke-75 secara virtual di Markas PMI, Jakarta, Kamis (17/9/2020). Peringatan HUT PMI ke-75 mengusung tema Solidaritas Untuk Kemanusiaan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Haura Hafizhah, Dessy Suciati Saputri, Ronggo Astungkoro

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla (JK), akhir pekan lalu menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta untuk adanya kritik terhadap pemerintah, di samping banyaknya permasalahan hukum dalam negeri yang tidak terselesaikan karena kritik. Ia punmenyinggung demokrasi Indonesia saat ini yang dikeluhkan dan dikritik banyak pihak.

Baca Juga

"Tentu banyak pertanyaan, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Ini tentu menjadi bagian dari upaya kita," ujar JK dalam acara Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR dikutip dari Youtube PKS TV, Sabtu (13/2).

Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu 'Demos' yang berarti rakyat dan 'Kratos' yang berarti pemerintah. Sedangkan menurut mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, arti besar demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pengertian dari Lincoln inilah yang digarisbawahi oleh JK, demokrasi yang intinya harus mengutamakan kepentingan rakyat. Sebab, rakyatlah yang memilih wakilnya di pemerintah untuk dapat memperoleh haknya sebagai warga negara.

"Berarti rakyat mendapat hak dan manfaat dalam demokrasi, karena itu kita harus menghargai hak-hak asasi sebagai prinsip pokok. Kalau ada yang melanggar HAM, maka itu adalah suatu pelanggaran terhadap konstitusi," ujar JK.

Namun, ia menilai demokrasi di Indonesia mengalami permasalahan. Salah satu penyebabnya adalah biaya politik tinggi yang berdampak kepada hadirnya kasus korupsi di Indonesia.

Untuk menjadi seorang kepala daerah atau anggota legislatif, JK menilai bahwa seseorang harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan adanya hubungan timbal balik saat terpilih nanti, agar modal yang telah dikeluarkan saat proses pemilihan dapat kembali diraih.

"Karena demokrasi mahal, maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi. Maka di situlah terjadinya menurun demokrasi, kalau demokrasi menurun maka korupsi juga naik, itulah yang terjadi," ujar JK.

Melihat fakta-fakta inilah yang membuat perlu hadirnya sosok pemantau dan pengawas kepada pemerintah untuk menghadirkan checks and balances. Peran oposisi dinilainya sangat penting guna menghadirkan demokrasi Indonesia yang lebih baik.

"Suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu agar terjadi balancing dan agar terjadi kontrol di pemerintah. Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik," ujar Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu.

Pernyataan JK yang menyinggung permintaan kritik dari Jokowi kemudian viral. Di media sosial, sebagian warganet menilai, pernyataan JK relevan dengan kondisi saat ini di mana banyak pengkritik pemerintah kemudian dilaporkan ke kepolisian dengan pasal UU ITE.

Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar bahkan, menilai pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat untuk lebih aktif mengkritik kinerja pemerintah tidak nyambung dengan realitas demokrasi di lapangan.

"Ya masyarakat paling melihatnya itu sebagai sebuah basa-basi yang lucu. Mengapa? ya di satu sisi Jokowi minta dikritik. Tapi kami tidak tahu apakah Jokowi serius atau lip service (basa-basi) saja. Bisa jadi juga dia pura-pura tidak tahu banyak aktivis ditangkapi dan diproses hukum dengan UU ITE karena  mengkritik pemerintah," katanya saat dihubungi Republika, Ahad (14/2).

Kemudian, ia melanjutkan tidak hanya aktivis, orang lain yang menyampaikan pendapat dan mengkritik pemerintah ditangkapi dan diproses hukum melalui UU ITE. Ini yang dimaksud dengan basa-basi yang lucu.

Ia menambahkan sejak awal dalam berbagai kesempatan ia selalu mengatakan, bahwa pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE seharusnya dicabut. Sebab, UU ITE itu ketika dibuat dengan semangat mengatur bisnis dan perdagangan melalui internet (online).

"Itu tidak cocok, ada ketentuan yang mengatur tentang pencemaran nama baik atau ujaran yang menyebabkan permusuhan berdasarkan suku agama ras dan antargolongan. Bisnis kan tidak mengenal agama atau suku. Jadi, justru pasal 28 ayat 2 UU ITE itu justru mengaburkan substansi UU tersebut," kata Fickar.

Lalu, Fickar melanjutkan, pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE pada prakteknya justru digunakan untuk membungkam suara yang berbeda dan mengkritik pemerintah. Penerapan UU ITE ini, menurutnya, mengesankan seolah-olah penegak hukum kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik.

"Demikian berarti, penggunaan ketentuan pasal itu sengaja digunakan sebagai untuk mengejar pangkat dan jabatan oleh para penegak hukum kepolisian dan kejaksaan. Seharusnya pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE masuk dalam UU Pidana (KUHP)," kata dia.

photo
Komik Si Calus Kritik - (republika/daan yahya)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement