REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Baru-baru ini terdapat wacana bahwa demokrasi di Indonesia mengkhawatirkan, terutama perihal kebebasan berpendapat (kritik) terhadap kebijakan pemerintah. Politisi NasDem, Subardi merespons, tidak ada yang salah dengan penyampaian kritik sepanjang relevan dengan semangat berdemokrasi.
"Tidak ada yang salah dengan kritik. Anggapan bahwa mengkritik pemerintah langsung berurusan dengan polisi itu salah besar. Banyak pakar, pengamat, praktisi, aktivis dan masyarakat yang leluasa megkritik pemerintah tanpa berurusan dengan aparat," kata Anggota Komisi VI DPR itu di Sleman, DIY, Ahad (14/2).
Meskipun demikian, menurut wakil rakyat dari Dapil Yogyakarta itu, masyarakat perlu membedakan antara kritik dengan caci maki, hoaks, ujaran kebencian, maupun fitnah. Kategori itu memang dilarang oleh hukum karena efeknya membahayakan bagi persatuan.
"Bedakan antara kritik dengan caci maki, hoaks, ujaran kebencian maupun fitnah. Itu memang dilarang. Bukan hanya ke pemerintah, ke pihak manapun dilarang. Siapapun pemerintahnya, undang-undang kita sudah membatasi itu karena efeknya membahayakan bagi persatuan," jelas Subardi.
Saat ini banyak pihak menyoroti indeks demokrasi Indonesia yang menurun berdasarkan survei The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam Indeks Demokrasi 2020, Indonesia menempati peringkat 64 dari 167 negara di dunia dengan skor 6,48.
Ketua DPW NasDem DIY itu menyinggung kekhawatiran masyarakat bahwa kebebasan berpendapat kian sulit di periode kedua pemerintahan Jokowi. Menurutnya, anggapan ini tidak benar. Masyarakat dibebaskan mengkritik, tanpa harus berpikir menyertakan solusinya.
"Kritik tidak harus mengandung solusi. Kritik bisa saja untuk mengevaluasi atau mengandung peringatan bahwa ada yang salah dengan kebijakan pemerintah. Itu sah-sah saja, tidak perlu diframing berlebihan. Bagaimanapun pemerintah adalah penguasa yang perlu dikontrol," katanya.