Kamis 11 Feb 2021 22:04 WIB

Potensi Kerugian Kasus BPJS Naker Mencapai Rp 20 Triliun

Potensi kerugian negara terjadi pada tiga periode pembukuan BPJS Naker.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah
Foto: Bambang Noroyono
Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) menghitung sementara indikasi kerugian negara dalam dugaan korupsi dan penyimpangan pengelolaan investasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Naker). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengaku, potensi kerugian sementara dari penanaman investasi saham dan reksa dana yang dilakukan BPJS Naker mencapai Rp 20 triliun.

Febrie mengatakan, dari penyidikan sementara, potensi kerugian negara tersebut, terjadi berturut pada tiga tahun periode pembukuan di BPJS Naker. Namun, Febrie tak menyebutkan periodisasi tahunan kerugian tersebut. Ia menegaskan, penyidikan saat ini, masih fokus mencari bukti-bukti untuk menjadi dasar penetapan tersangka dan penanggungjawab, serta pemegang keputusan transaksi.

“Kita saat ini, sedang mendalami untuk memastikan, apakah kerugian ini karena perbuatan seseorang, sehingga masuk dalam kualifikasi pidana, atau risiko bisnis,” ujar Febrie saat ditemui Republika.co.id di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejaksaan, Jakarta, Kamis (11/2).

Febrie meyakini, potensi angka kerugian dengan nilai sebesar itu, tak lazim disebut sebagai risiko bisnis. “Dalam tiga tahun bisa rugi sampai (Rp) 20 T (triliun). Kalau itu kerugian bisnis, apakah memang analisanya sebodoh itu, bisa sebesar itu? Karena analisanya memang  salah, atau sengaja dibuat salah, untuk maksud tertentu,” tegas Febrie.

Ia memastikan saat ini tim penyidikannya sedang memilah-milah sejumlah investasi saham dan reksa dana yang dilakukan manajemen BPJS Naker. Hal ini untuk menemukan motif dari analisa, dan transaksi sebagai salah satu dasar menetapkan tersangka.

“Jadi jaksa mendalami ini. Kerugian yang mencurigakan itu, apakah ada kesengajaan untuk dibuat merugikan BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Febrie menambahkan.

Dugaan korupsi di BPJS Naker naik ketingkat penyidikan sejak pertengahan Januari 2021. Febrie pernah menerangkan, dugaan korupsi tersebut, menyangkut transaksi saham, dan reksa dana setotal Rp 43 triliun dari seluruh investasi BPJS Naker senilai Rp 400-an triliun.

Penyidikan tersebut, hingga saat ini belum meningkat ke penetapan tersangka. Akan tetapi, proses pemeriksaan saksi-saksi, masih terus dilakukan. Pada Kamis (11/2), Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Leonard Ebenezer mengakui, penyidikan terkait BPJS Naker memeriksa sebanyak tujuh orang saksi-saksi.

Kebanyakan yang diperiksa, saksi-saksi dari manajer investasi (MI). “Saksi yang diperiksa hari ini, ada EPL, MPT, WG, S, PY, dan YH, juga DA,” kata Ebenezer dalam keterangan resmi, Kamis (11/2).

Khusus inisial DA, disebutkan sebagai saksi terperiksa terkait perannya sebagai direktur dana pensiunan di BPJS Naker. “Adapun lainnya, adalah swasta dari manajer investasi dan, aset manajemen yang mengetahui investasi terkait BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Ebenezer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement