Senin 08 Feb 2021 17:03 WIB

Mencari Cara Agar PPKM Skala Mikro Bisa Efektif

PPKM skala mikro tanpa tes masif bak terapkan kebijakan dengan peta buta.

Petugas gabungan memegang spanduk imbauan protokol kesehatan saat operasi penyekatan dan pemeriksaan di perbatasan Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung di Jalan Ir H Juanda, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Ahad (7/2). Operasi penyekatan dan pemeriksaan bagi setiap kendaraan luar daerah yang masuk ke Kabupaten Bandung tersebut digelar dalam rangka Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) guna mencegah penyebaran Covid-19 di wilayah Kabupaten Bandung. Foto: Abdan Syakura/Republika
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas gabungan memegang spanduk imbauan protokol kesehatan saat operasi penyekatan dan pemeriksaan di perbatasan Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung di Jalan Ir H Juanda, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Ahad (7/2). Operasi penyekatan dan pemeriksaan bagi setiap kendaraan luar daerah yang masuk ke Kabupaten Bandung tersebut digelar dalam rangka Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) guna mencegah penyebaran Covid-19 di wilayah Kabupaten Bandung. Foto: Abdan Syakura/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia, Rr Laeny Sulistyawati, Antara

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berlanjut mulai besok. Di beberapa daerah, pemerintah akan menerapkan PPKM skala mikro alias fokus di level desa, kelurahan, RW atau RT yang tinggi kasusnya.

Baca Juga

Pakar epidemiologi Universitas Airlangga (Unair), dr Windhu Purnomo, namun meragukan efektivitas PPKM berskala mikro. Ia pun mempertanyakan makna dari PPKM berskala mikro yang dikeluarkan pemerintah. Karena menurutnya masih kurang jelas makna dari PPKM berskala mikro tersebut.

"Apa yang dimaksud PPKM berskala mikro? Apa istilah ini sama dengan karantina wilayah berskala mikro? Apakah sekedar nama lain dari istilah semacam kampung tangguh?" kata Windhu di Surabaya, Senin (8/2).

Windhu melanjutkan, jika yang dimaksud PPKM berskala mikro adalah karantina wilayah berskala mikro, artinya ada wilayah setingkat RT, RW, desa, atau kelurahan yang dikarantina. Namun, lanjut Windhu, apa indikator penetapan wilayah-wilayah mikro yang diharuskan melakukan karantina tersebut.

"Bukan kah dalam kondisi testing rate dan contact tracing yang sangat kecil, bahkan 3 persen populasi saja belum sampai, kita seperti punya peta buta. Sehingga tidak bisa menetapkan mana wilayah mikro yang berisiko tinggi atau rendah," ujar Windhu.

Baca juga : Jabar Siap Terapkan PPKM Mikro

Ia pun mempertanyakan, apakah wilayah mikro yang dianggap berisiko rendah benar-benar tidak ada kasus atau kasus sedikit. Karena kesimpulan itu dirasanya bisa sangat menyesatkan. Menurutnya, wilayah mikro yang dianggap minim kasus bisa saja karena kita tidak mampu mendeteksi akibat testing yang sangat lemah.

"Sesungguhnya bila testing rate makin lemah, karantina wilayah yang diberlakukan harus makin makro. Sedikitnya tingkat kota atau kabupaten, atau tingkat provinsi, pulau atau nasional," kata dia.

Menurutnya, ketika testing rate semakin tinggi maka makin bisa dilakukan karantina wilayah mikro, bahkan sampai tingkat RT-RW. Ia mencontohkan yang dilakukan di Hong Kong. Pemerintahnya bisa melakukan lockdown tingkat mikro yaitu blok-blok karena testing ratenya mencapai lebih dari 85 persen dari populasi yang ada.

"Tapi kalau pengertian PPKM berskala mikro adalah semacam kampung tangguh, lha kan ini katanya sudah dilakukan. Ya nggak apa-apa kalau ini yang dioptimalkan. Berarti ini sebuah pengakuan bahwa konsep kampung tangguh selama ini belum banyak diimplementasikan dengan benar, hanya nama doang," ujarnya.

Windhu mengatakan, seharusnya pemerintah tidak hanya suka bermain istilah atau nama. Tapi betul-bentul substansinya harus sesuai demgan prinsip-prinsip pemutusan rantai penularan berdasarkan keilmuan public health atau epidemiologi. Yaitu betul-betul membatasi mobilitas dan interaksi warga. Mobilitas hanya boleh untuk kepentingan yang sangat esensial, dan itu pun harus 100 persen menjalankan protokol kesehatan.

Baca juga : Akan Ada Swab Antigen Gratis di Kelurahan Saat PPKM Mikro

"Jujur saja, saya sebetulnya enggan berkomentar tentang kebijakan-kebijakan yang menggunakan istilah-istilah yang definisinya tidak jelas," kata dia.

Menurut epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Syahrizal Syarif Ph.D, PPKM skala mikro sebenarnya sudah terlambat namun tetap bisa dilaksanakan. Seharusnya, PPKM skala mikro jauh-jauh hari sudah diterapkan pemerintah. "Dari awal saya sudah menganjurkan pelaksanaan PPKM skala mikro karena potensinya ada," katanya.

Potensi yang dimaksud ialah pelibatan bidan desa, bintara pembina desa (babinsa), Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) hingga tenaga penggerak desa. Sumber daya manusia (SDM) tersebut dapat diberdayakan oleh pemerintah untuk menjalankan kebijakan PPKM skala mikro. Selain itu, penguatannya dapat disokong oleh alokasi dana desa.

Upaya yang sudah diterapkan pemerintah selama ini memang boleh dibilang belum cukup. Upaya seperti yang dilakukan Jawa Tengah dengan gerakan di rumah selama dua hari jelas masih belum bisa menekan penyebaran Covid-19.

Ia mengatakan karantina dua kali masa inkubasi atau 28 hari akan jauh lebih efektif diterapkan dibandingkan penerapan karantina akhir pekan untuk mencegah penularan Covid-19. "Karantina akhir pekan itu tidak akan efektif," katanya saat dihubungi, Senin.

Secara epidemiologi, kata dia, penerapan karantina wilayah akan jauh lebih efektif selama 28 hari. Artinya, selama dua kali masa inkubasi tersebut orang-orang yang terinfeksi bisa sembuh yang tentunya juga dibantu pengobatan.

Namun, jika pemerintah hanya menerapkan karantina akhir pekan saja maka pencegahan Covid-19 dinilainya tidak akan berhasil. "Kalau karantinanya cuma setiap minggu itu sama saja omong kosong," katanya menegaskan.

Bahkan, langkah itu dinilainya hanya akan semakin mempersulit ekonomi masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Meskipun demikian, ia meragukan kebijakan karantina 28 hari bisa diterapkan. Sebab, karantina dua kali masa inkubasi butuh persiapan dan akan memakan anggaran yang besar. Apalagi, selama 28 hari tersebut akan berdampak luas bagi sektor-sektor perekonomian di Tanah Air. "Jadi itu kalau mampu ya, sebab dampak ekonominya akan besar," kata Syahrizal.

Namun, bila pemerintah tidak siap untuk menerapkan karantina 28 hari maka penerapan protokol kesehatan 3M yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan pakai sabun wajib terus dipatuhi. Bahkan, jika perlu masyarakat yang terbukti melanggar protokol kesehatan maka harus diberikan denda lebih besar agar memberikan efek jera.

Secara pribadi selama ini ia menilai pemerintah belum cukup tegas dalam penegakan aturan kepada pelanggar protokol kesehatan. Sebagai contoh masih banyak ditemukan restoran yang tidak patuh protokol kesehatan. "Contohnya masih banyak restoran yang satu meja diisi enam orang, padahal saat makan orang tidak pakai masker," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement