Senin 08 Feb 2021 23:10 WIB

AMSI: Disrupsi Media Digital, Jurnalis vs Netizen

Masyarakat umum seringkali tak bisa membedakan konten yang terverifikasi kebenarannya

Rep: Mimi Kartika/ Red: Gita Amanda
Pengurus Pusat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Anthony Wonsono mengatakan, distribusi konten media massa digital kini dikuasai mayoritas atau secara keseluruhan oleh platform.
Foto: LA Times
Pengurus Pusat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Anthony Wonsono mengatakan, distribusi konten media massa digital kini dikuasai mayoritas atau secara keseluruhan oleh platform.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Pusat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Anthony Wonsono mengatakan, distribusi konten media massa digital kini dikuasai mayoritas atau secara keseluruhan oleh platform. Dampak utama dari distribusi konten yang dikuasai platform, salah satunya persoalan akuntabilitas.

"Tiga impact utama dari sisi distribusi yang dikuasi oleh platform adalah nomor satu isu terkait accountabilty, jurnalis vs netizen," ujar Anthony dalam diskusi daring di acara Hari Pers Nasional 2021, Senin (8/2).

Ia menjelaskan, platform mendistribusikan konten seringkali tanpa membedakan konten produksi media yang melalui serangkaian proses jurnalistik dan konten yang tidak. Itu sebabnya konten berkualitas dan konten abal-abal dinilai sama derajatnya.

Masyarakat umum seringkali tidak bisa membedakan konten yang terverifikasi kebenarannya dan konten yang tidak ada basisnya. Menurut dia, hal ini berbahaya terhadap isu hubungan sosial maupun nasional dan cenderung menyesatkan publik.

Kemudian dampak yang kedua adalah isu jurnalistik vs algroitma. Anthony mengatakan, algoritma memengaruhi cara kerja jurnalis di ruang redaksi (newsroom), industri pers tiba-tiba harus mempertimbangkan cara kerja si mesin dalam produk mereka, dan seringkali ini mengganggu kualitas konten.

"Makin diklik sukai orang, makin diklik banyak orang, dikomentari banyak orang, makin tinggi volume sebarannya kita. Akibatnya selera publik yang menyetir jurnalisme, pers cenderung menulis apa yang disukai publik, daripada apa yang seharusnya penting bagi publik," jelas Anthony.

Ia menuturkan, hal ini berbahaya bagi kelanjutan industri pers media massa digital yang memproduksi konten berkaitan dengan isu-isu nasional. Dampak berikutnya yakni kebergantungan model bisnis terhadap platform.

Anthony mengatakan, dengan adanya kebergantungan industri pers di Indonesia kepada iklan, maka perusahaan-perusahaan pers sangat bergantung kepada platform. Di sisi lain, selama 10 tahun terakhir ini, belum ada diskusi serius antara platform dan industri media terhadap perubahan atau inovasi yang dialami bersama-sama.

Ia menambahkan, setidaknya ada lima solusi untuk mengantisipasi ketiga dampat tersebut. Pertama, edukasi kepada tiga pihak sekaligus yakni distributor konten/platform, advertiser atau pengiklan, dan publik.

Anthony menjelaskan, platform diajarkan cara membedakan kualitas konten dari media yang benar dan abal-abal. Sedangkan, pengiklan diedukasi terkait tempat mereka memasang konten, agar tidak hanya mengutamakan banyaknya konten tersebut dilihat publik, tetapi juga kualitas dari konten.

Sebab, bisa saja tempat mereka memasang konten adalah konten hoaks atau konten yang mengandung ujaran kebencian, hal ini tentu merugikan pengiklan itu sendiri. Sementara publik harus diedukasi untuk memahami perbedaan konten berita yang sudah terverifikasi kebenarannya dengan konten hoaks.

Solusi kedua adalah peran pemerintah, ia berharap pemerintah bisa menjembatani dan memfasilitasi negosiasi yang sehat antara platform dan media massa. Pemerintah juga harus mampu memastikan akuntabilitas atas konten yang didistribusikan oleh semua pemain, baik media maupun platform.

"Kita harus juga bisa melihat bahwa sekarang perusahaan-perusahaan harus juga bertanggung jawab atas konten yang disebarkan melalui platform mereka masing-masing," tutur Anthony.

Solusi ketiga ialah kerja sama dengan platform, khususnya dalam pembagian revenue atau pendapatan dari perusahaan pers. Keempat, perusahaan media tidak boleh malas dan justru harus proaktif mencari dan membangun sumber pendapatan alternatif, seperti mengadakan acara, siaran langsung, tutorial, produk komersial, dan sebagainya.

Solusi kelima, perusahaan media harus serius memikirkan paywall/subscription model dengan menghadirkan konten berbayar. Bisa juga melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan teknologi seperti toko online (e-commerce) atau fintech, dan lain-lain, sehingga pers tidak hanya bergantung kepada platform saja.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement