Ahad 07 Feb 2021 07:53 WIB

Militer Myanmar dan Kudeta

Transisi demokrasi Myanmar paling rapuh, dan lebih buruk lagi hanyalah lelucon.

Para pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari, simbol perlawanan, saat mereka memasang spanduk yang menggambarkan pemimpin Aung San Suu Kyi selama protes terhadap kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2). Ribuan orang mengambil bagian dalam protes di Yangon .
Foto:

Warga Myanmar pergi ke tempat pemungutan suara pada 8 November. Mereka memberi Suu Kyi dan NLD mandat kembali memimpin negara dalam pemilu paling menentukan dalam sejarah pasca-kemerdekaan negara itu.

Hasilnya, NLD berhasil menang telak melawan USDP: dari 476 kursi di Parlemen, mantan jenderal hanya mendapatkan 33 kursi, sedangkan NLD meraih 396.

Hal ini memberi NLD kendali penuh di badan legislatif, sesuatu yang sekarang dituding militer sebagai aturan anti-demokrasi satu partai yang bertentangan dengan semangat dan tujuan para perumus militer di Konstitusi 2008.

Tetapi ini adalah bentuk Orwellian dan sikap oportunistik karena para pemimpin militer Burma tidak pernah menginternalisasi nilai-nilai demokrasi atau bekerja untuk membangun sistem apa pun yang sesuai dengan istilah demokrasi.

Di sinilah orang dapat melihat jalur kesamaan antara mayoritas pendukung akar rumput Presiden AS Donald Trump dan 70% pendukungnya di Kongres AS dan cara di mana pejabat militer Myanmar, baik yang masih aktif maupun veteran, melihat diri mereka masing-masing sebagai pemenang pemilu yang berhadapan Biden dan para pemilihnya serta NLD dan pendukungnya di seluruh negeri.

Terlepas dari pemilu yang bebas, transparan, dan adil di AS dan Myanmar pada 2020, baik Trump (dan Partai Republik) dan partai USDP yang didukung militer Burma memiliki cara pandang yang salah bahwa mereka mengklaim sebagai pihak yang dirugikan dalam pemilu hanya karena adanya tudingan kecurangan pemilu. Tapi di sinilah letak kesamaan AS dan Myanmar berakhir.

Tidak seperti AS, transisi demokrasi Myanmar paling rapuh, dan lebih buruk lagi hanyalah lelucon. Ini adalah gambaran untuk memperjelas yang sudah jelas bahwa AS sudah berpengalaman lebih dari 200 tahun dan memiliki sistem politik check and balances jika kultur demokrasi bergolak.

Enam tahun lalu, dunia mengalami euforia politik dan kegilaan yang luar biasa menyusul hasil pemilu Myanmar saat Suu Kyi dan partainya menang telak atas USDP. Kemenangan ini membawa Suu Kyi menjabat "Penasihat Negara Myanmar," yang berada “di atas kantor politik presiden” tempat dia berperan sebagai dalang presiden Htin Kyaw dan Win Myint.

Merespons histeria massa atas kejadian ini, saya berpendapat bahwa pemenang utama dari pemilihan umum 2015 adalah para jenderal Burma. Para pemimpin militer negara, yang menjalankan institusi paling kuat, tidak pernah dipaksa untuk membuat konsesi nyata. Mereka praktis diberi izin masuk sebagai imbalan atas akses strategis dan ekonomi ke negara itu, sementara Barat dan yang lainnya meneriakkan "Musim Semi Myanmar".

Begitulah lelucon demokrasi Myanmar mendapatkan legitimasi internasional dan penerimaan di dalam negeri. Konstitusi yang terlebih dahulu melegalkan kudeta militer adalah dasar dari apa yang disebut sebagai "demokrasi yang rapuh". Fakta yang tidak menyenangkan adalah para jenderal Burma, tua atau muda, pensiunan atau yang masih menjabat, tidak pernah merasa harus melepaskan kendali efektif mereka atas negara, dengan cara atau bentuk apa pun.

Pada tahun 2008, para jenderal menciptakan dan mengadopsi Konstitusi yang menegaskan militer sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Konstitusi ini dirancang khusus untuk memungkinkan militer mengendalikan semua tuas kekuasaan penting seperti kementerian keamanan Dalam Negeri, Urusan Perbatasan dan Pertahanan, hak veto - melalui jatah 25% kursi parlemen - berkat amandemen konstitusi yang signifikan yang akan memberikan keseimbangan kekuasaan untuk rakyat, cengkeraman kuat pada amandemen Departemen Administrasi Umum yang menjalankan kontrol administratif negara atas populasi hingga ke dusun terkecil dan kontrol eksklusif atas sebagian besar ekonomi nasional melalui konglomerat ekonomi.

Selain itu, Suu Kyi tidak akan pernah diizinkan menjabat sebagai presiden negara di bawah Konstitusi militer.

Mengingat keunggulan dan dominasi militer dalam proses reformasi negara, saya sama bingungnya dengan siapa pun saat melihat gambar tank di jalan-jalan kampung halaman saya di Mandalay dan bekas ibu kota Yangon dan membaca berita Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing secara terang-terangan mengungkapkan kemungkinan penghapusan Konstitusi 2008 dan juru bicara militer Brigadir Zin Min Htun secara efektif memicu spekulasi populer bahwa tank di jalanan pasti sinyal terjadinya kudeta.

Tiga dekade lalu, San Francisco Chronicle (16 Mei 1990) memuat analisis berjudul "Vote will be change nothing: Military Pledges to Retain Power after May 27 Exercise" yang ditulis James Goldstein di mana jurnalis Amerika yang cerdik itu menulis: "Jika Anda pernah membutuhkan bukti bahwa pemilu tidak dengan sendirinya memastikan bahwa pemerintah melindungi hak asasi warganya, itulah Burma." Memang, pemungutan suara itu tidak mengubah secara fundamental persamaan kekuasaan di Myanmar.

Sudah lama sekali PBB, Uni Eropa, AS, dan media global membanjiri cerita-cerita lucu tentang "transisi demokrasi yang rapuh" Myanmar di bawah peraih Nobel Aung San Suu Kyi. Dengan menyakitkan, Suu Kyi telah menunjukkan wajah aslinya sebagai otokrat rasis pembela genosida Rohingya, sementara rekannya dalam kejahatan, para jenderal Burma, hanya mengarak tank mereka. Pesan militer kepada publik yang sangat pro-NLD jelas dan keras: militer tetap menjadi bos yang sebenarnya, terlepas dari putaran demokrasi.

*Penulis adalah koordinator Burma Free Rohingya Coalition dan anggota Genocide Documentation Center di Kamboja.

*Pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.

sumber : Anadolu
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement