REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengakui, ada pertemuan dengan kader dan mantan kader Partai Demokrat di rumahnya. Namun, Moeldoko membantah pertemuan tersebut untuk merencanakan pengambilalihan kepemimpinan alias kudeta partai yang dikepalai oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
"Saya itu ngopi-ngopi aja, beberapa kali di sini (kediaman Moeldoko), ya di luar biasa. Ya kerjaan saya bicarakan," ujar Moeldoko di kediamannya kawasan Menteng, Jakarta, Rabu (3/2).
Menurutnya, kepengurusan Demokrat seharusnya tak perlu khawatir dengan pertemuannya dengan sejumlah kader dan mantan kader partainya. Pasalnya, AHY terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum.
Sehingga, perpecahan di internal partai berlambang bintang mercy itu dinilainya tak mungkin terjadi. "Kenapa mesti takut ya, kenapa mesti menanggapi seperti itu. Wong saya biasa-biasa saja," ujar mantan panglima TNI itu.
Ia mengungkapkan, pertemuan seperti dengan kader dan mantan kader Demokrat pernah digelar saat berkumpul dengan pihak-pihak lain di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut membicarakan banyak hal yang tak ada hubungannya dengan kepresidenan.
Di samping itu, Moeldoko menegaskan, ia merupakan orang yang berada di luar kepengurusan Demokrat. Sehingga, tidak mungkin ia menjadi ketua umum Demokrat karena harus memenuhi sejumlah syarat yang terdapat dalam AD/ART partai.
"Saya ini siapa, saya ini apa (di Demokrat), biasa-biasa saja. Di Demokrat ada Pak SBY ada putranya Mas AHY," ujar Moeldoko.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengatakan, saat ini, ada pihak yang mengancam Partai Demokrat. Menurut dia, pihak tersebut adalah gerakan politik yang mengarah pada upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa.
Berdasarkan kesaksian dan testimoni dari pihaknya, dia menyebut, gerakan tersebut melibatkan pejabat penting pemerintahan. Bahkan, secara fungsional ada yang berada di lingkaran kekuasaan terdekat Presiden Joko Widodo.
Diduga ada lima orang yang menjadi pelaku gerakan ini. AHY menuturkan, lima orang tersebut terdiri atas satu kader aktif Demokrat, satu kader yang tidak aktif selama enam tahun belakang, satu mantan kader yang diberhentikan sejak sembilan tahun lalu karena kasus korupsi, dan satu lagi mantan kader yang keluar dari partai tiga tahun lalu.
"Sedangkan, satunya adalah nonkader partai dan seorang pejabat tinggi pemerintahan, sedang kami mintakan konfirmasi kepada Presiden Joko Widodo,” ujar AHY.