REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat Defriman Djafri Ph.D menilai penerapan kebijakan yang dikombinasikan dengan penegakan hukum akan membuat penerapan protokol kesehatan berjalan dengan baik.
"Itu kombinasi yang saya lihat nyata dan bisa diterapkan," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (29/1).
Meskipun dinilai efektif dalam menerapkan protokol kesehatan, Defriman mengatakan hal itu belum tentu bisa serta merta diterapkan di semua daerah. Sebab, penegakan kebijakan yang dibarengi penegakan hukum harus memerhatikan karakter masyarakat yang berbeda-beda.
Di suatu daerah bisa saja itu akan efektif, namun di wilayah lain belum tentu bisa, jadi bumerang bagi pemerintah dengan adanya penegakan aspek hukum.
Defriman yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unand tersebut menilai belum maksimalnya penerapan protokol kesehatan di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya tidak ada persiapan perencanaan yang baik dalam mengatasi pandemi.
"Tantangan pandemi saat ini ialah perilaku. Sementara perilaku ini sulit dibatasi," katanya.
Dari berbagai macam cara yang dilakukan pemerintah untuk membatasi pergerakan masyarakat, selama itu pula individu-individu mengakalinya.
Sebagai contoh, pemerintah membatasi lonjakan masyarakat saat liburan melalui kebijakan jalur transportasi udara. Namun, masyarakat tetap mencari cara agar bisa liburan melalui jalur darat.
"Itulah dilemanya," ujar Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Provinsi Sumatra Barat tersebut.
Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pusat harus selaras dengan pemerintah daerah. Apalagi, berbicara pandemi bukan hanya perkara suatu negara, namun melibatkan banyak negara. "Makanya saya tidak setuju mengenai pembatasan satu atau dua pulau saja saat pandemi," ucapnya.