REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa (26/1), memeriksa Direktur Utama (Dirut) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Agus Susanto (AS). Pemeriksaan tersebut, lanjutan penyidikan dugaan korupsi investasi di BPJS Ketenagakerjaan.
Empat bos manajer investasi (MI), serta pejabat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun turut dimintai keterangan dalam dugaan penyimpangan investasi saham dan reksa dana senilai Rp 43 triliun tersebut. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Ebenezer Simanjuntak menerangkan, selain Agus Susanto, ada delapan orang saksi lainnya yang turut dimintai keterangan.
Mereka antara lain, petinggi dan mantan pejabat lainnya dari BPJS Naker, yakni IR, AN, dan BS. Terperiksa dari OJK, yakni S, selaku Direktur Pengelola Investasi Departermen Pengawasan Pasar Modal 2A OJK.
Sementara dari para bos manajer investasi yang diperiksa, yakni HRD selaku Presiden Direktur PT FWD Asset Management, RP, Direktur Bahana TCW Investment Management, FEH, selaku Direktur COO PT Ashmore Asset Management Indonesia, dan US, selaku Direktur PT Danareksa Investmen Management.
“Pemeriksaan saksi-saksi tersebut dilakukan untuk mencari fakta hukum, dan mengumpulkan alat-alat bukti tentang perkara tindak pidana korupsi pada pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan,” terang Ebenezer, dalam keterangan resmi yang diterima wartawan, di Jakarta, Selasa (26/1).
Dalam kasus dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan, penyidikan, sampai Selasa (26/1) sudah memeriksa lebih dari 24 orang saksi. Baik saksi dari para petinggi dan mantan pejebat BPJS Naker, juga memintai keterangan dari para manajer investasi.
Dalam keterangan resmi penyidikan, dugaan penyimpangan BPJS Ketenagakerjaan terkait dengan investasi saham dan reksa dana dengan nilai transaksi mencapai Rp 43 triliun. Namun, nilai transaksi tersebut, belum dapat dikatakan sebagai kerugian negara.
Jampidsus Ali Mukartono sebelumnya menerangkan, dugaan sementara di penyidikan, meyakini adanya penyimpangan terkait transaksi investasi saham dan reksa dana yang merugikan keuangan negara.
“(Kasus BPJS Naker), hampir sama kayak Jiwasraya. Itu kan terkait investasi juga. Dia punya duit investasi keluar. Uang negara pokonya,” kata Ali saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung, Jakarta, Selasa (19/1).
Menurut Ali, penggunaan uang negara yang digunakan tersebut, diduga merugi karena adanya dugaan penyimpangan, dan praktik korupsi. “Ada dugaan yang tidak bener kan? Makanya ke penyidikan,” terang Ali.