REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai Juliari Peter Batubara (JPB) tengah menutupi sesuatu. Hal tersebut menyusul sikap tersangka suap bantuan sosial (bansos) Covid-19 itu yang tidak kooperatif saat menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Pasti ada yang ditutupi. Namun saya yakin KPK mampu menelusuri bukti-bukti keterlibatan pihak lain," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman di Jakarta, Ahad (24/1).
Dia mengatakan, KPK tentu bakal dapat menangkap pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Boyamin berpendapat, lembaga antirasuah itu dapat menelusuri pola pengadaan bansos Covid-19.
"Karena ini terkait beberapa perusahaan yang tentunya melibatkan transaksi berbagai pihak," katanya.
Dia mendesak KPK untuk menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Juliari. Dia mengatakan, hal tersebut guna menelusuri aliran dana sehingga mampu mengungkap semua pihak yang terlibat dalam perkara tersebut.
Lebih lanjut, dia menilai, KPK juga perlu mengancam Juliari dengan dengan dakwaan hukuman mati menyusul sikapnya yang tidak kooperatif tersebut. Ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran pandemi Covid-19 sebelumnya sempat disinggung Ketua KPK Firli Bahuri.
"Betul, terapkan pasal 2 ayat 2 ancaman hukuman mati," kata Boyamin lagi.
Adapun pasal yang dimaksud adalah Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal menyebutkan bahwa "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."
Sebelumnya, Deputi Penindakan KPK Karyoto mengungkapkan Juliari masih bungkam terkait kasus yang menjeratnya itu. Dia mengatakan, hal itu menyebabkan KPK jarang memeriksa mantan menteri sosial (mensos) tersebut.
Dia mengatakan, akan menjadi pekerjaan yang sia-sia jika pemeriksaan terhadap JPB dilakukan hingga memakan waktu panjang namun tidak memiliki hasil. Dia melanjutkan, KPK lebih baik memeriksa saksi-saksi lain guna mendapati konstruksi perkara tersangka.
"Sekarang, kalau ada seorang yang mempunyai informasi dia tidak mampu membuka sama sekali kan kita cari. Biarin saja mereka nggak mau ngaku, tapi kita cari pendukung yang ke arah sana, gitu loh," katanya.
Seperti diketahui, Juliari disebut-sebut menerima suap Rp 17 miliar dari “fee" pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek. Suap tersebut diterima politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu melalui dua tahap.
Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.