Ahad 24 Jan 2021 09:51 WIB

Pesantren Jadi Lumbung Plasma

Sayangnya gagasan dari Gus Yasin itu memiliki hambatan.

Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, yang mendorong pondok pesantren menjadi 'lumbung Donor Plasma'. Ilustrasi Pondok Pesantren.
Foto:

Ada Jalan Lain

Akan tetapi, sebagai pimpinan daerah, Gus Yasin dapat melakukan terobosan yang lain yang jauh lebih tepat sasaran. Alih-alih hanya fokus pada pengorganisasian satu kelompok penyintas tertentu, dalam hal ini santri, Gus Yasin dan jajaran pemerintah Jawa Tengah justru dapat mengorganisaisi semua calon pendonor se-Jawa tengah sejak tercatat sebagai penderita Covid-19 baik yang di rumah sakit, wisma, atau pun yang di rumah.

 

Gus Yasin dapat memerintahkan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Dinas Kesehatan Provinsi untuk menyortir semua pasiena yang memenuhi kriteria pendonoran. Mereka yang memenuhi persayaratan dapat dipersuasi dan diberikan informasi lebih mengenai proses pendonoran.

Selanjutnya, Gus Yasin dan jajarannya hanya perlu menghubungi pasien sembuh secara berkala untuk memastikan mereka telah mendonor dengan tepat. Pada titik ini, pemprov Jateng perlu mengingat bahwa pasien sembuh dapat mendororkan plasma setiap dua minggu sekali sehingga komunikasi intensif menjadi kunci atas kesediaan pasien untuk mendonor secara berulang.

 

Gus Yasin yang membawahi Tim Gugus Tugas dan Dinkes Provinsi memiliki peluang besar dalam melakukan pengorganisasian itu. Dengan bekal informasi yang cukup tentang profil pasien, sebaran, dan riwayat kondisi medis seharusnya pengorganisasian ini dapat dilakukan dengan mudah.

 

Catatan dari calon pendonor

Tapi Gus Yasin juga perlu tahu bahwa ada banyak kejadian yang menyebabkan pasien sembuh belum berhasil mendonorkan plasmanya. Melalui sebuah survei online kepada 40 penyintas Covid-19 yang secara suka rela mengisi kuesioner sederhana, ditemukan tujuh tantangan yang menghalangi pasien sembuh untuk mendonor plasma.

 

Ketujuh hambatan itu adalah: pertama takut ada dampak negative; kedua tidak tahu informasi mengenai donor konvalesen; ketiga tidak tahu lokasi di mana mendonor; keempat tidak punya ongkos untuk berangkat ke lokasi pendonoran; kelima tinggal jauh dari lokasi pendonoran; keenam gagal mendonorkan plasma karena antibodi tidak lagi terdeteksi; dan ketujuh takut jarum suntik.

 

Jika disederhanakan, maka ketujuh tantangan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi: (i) tantangan informasi dan (ii) tantangan fasilitas. Tantangan fasilitas, seperti tidak tahu lokasi mendonor atau tinggal jauh dari lokasi pendonoran, tidak bisa dihindari mengingat jumlah dan sebaran lokasi fasilitas kesehatan yang bisa menerima donor plasma sangat terbatas.

Hanya terdapat 27 PMI dan rumah sakit yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia. Di Jawa Tengah sendiri hanya ada tiga fasilitas di 34 kota/kabupaten.

 

Pengorganisasian yang rapi dan komunikasi intensif juga akan menjadi jawaban mengenai edukasi dan pemberian informasi pada calon pasien sebagaimana dikeluhkan saat ini. Sehingga ke depan tidak ada lagi kegagalan untuk mendonor karena tidak tahu informasi mengenai donor, atau ketidaktahuan yang lain.

 

Walhasil, dengan melakukan pengorganisiran dari hulu hingga hilir semacam itu, akan tercipta pluang untuk menciptakan sebuah gerakan nasional (atau lokal) pendonoran plasma dalam jumlah yang besar dan massif. Jika Gus Yasin di Jawa Tengah dapat melakukan konsolidasi supply plasma dengan sitematis, maka akan dapat memicu gerakan serupa di tempat lain. Dalam skala besar gerakan ini diharapkan dapat menyelamatkan pasien Covid-19 yang bergejala berat dan menekan angka kematian di tanah air. Wallahu A’lam bisshawab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement