Sabtu 23 Jan 2021 01:15 WIB

'DKI dan Botabek Bisa Krisis Daging Sapi Berkepanjangan'

Jabodetabek dinilai bisa alami krisis daging sapi berkepanjangan jika tak disikapi.

Sejumlah pedagang daging sapi beraktivitas di los daging saat aksi mogok jualan di pasar tradisional Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (20/1). Aksi mogok tersebut serentak dilakukan pedagang daging sapi di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mulai Rabu (20/1) hingga Jumat (22/1)  sebagai bentuk protes imbas dari melonjaknya harga daging sapi mencapai Rp.130 ribu per kilogram. Republika/Thoudy Badai.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sejumlah pedagang daging sapi beraktivitas di los daging saat aksi mogok jualan di pasar tradisional Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (20/1). Aksi mogok tersebut serentak dilakukan pedagang daging sapi di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mulai Rabu (20/1) hingga Jumat (22/1) sebagai bentuk protes imbas dari melonjaknya harga daging sapi mencapai Rp.130 ribu per kilogram. Republika/Thoudy Badai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University Muladno Basar menilai bahwa wilayah Jabodetabek bisa mengalami krisis daging sapi berkepanjangan jika tidak disikapi dengan solusi jangka panjang dari pemerintah dan pelaku usaha.

Menurut Muladno, lonjakan harga daging sapi yang menyebabkan para pedagang di pasar tradisional melakukan aksi mogok hanya terjadi di wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek. Peningkatan harga daging sapi juga hanya terjadi pada wilayah Jabodetabek saja, bukan secara nasional.

Harga yang melonjak tinggi ini, kata Muladno, merupakan dampak dari ketergantungan Indonesia terhadap impor daging sapi dari negara lain, khususnya Australia.

"DKI dan Botabek bisa krisis daging sapi berkepanjangan karena impor sapi bakalan dari Australia mahal. Kemudian, impor sapi dari Brazil dan Meksiko juga mahal karena terlalu jauh dari segi jarak atau geografis," kata Muladno dalam diskusi yang digelar Pataka secara virtual, Jumat.

Selain karena bergantung pada impor, Muladno menjelaskan bahwa produksi sapi bakalan di Indonesia tidak mencukupi. Sapi bakalan jantan di Indonesia lebih banyak disiapkan oleh peternak untuk Hari Raya Idul Adha.

Jabodetabek sendiri merupakan wilayah konsumen daging ternak. Di sisi lain, ada delapan provinsi yang bisa memasok daging ke Jabodetabek dengan populasi sapi jantan di atas 750.000 per provinsi.

Delapan provinsi tersebut, yakni Jawa Timur dengan populasi tertinggi di atas 4 juta ekor, diikuti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, Sumatra Utara, Lampung dan Bali.

Namun demikian, delapan provinsi ini juga tidak cukup memenuhi kebutuhan pangan hewan ternak ke Jabodetabek. Oleh karena itu, Indonesia memasoknya dari Australia dengan populasi sapi di atas 26 juta ton.

Salah satu provinsi di Australia, Darwin, juga memasok untuk kebutuhan daging ke Jakarta, karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan wilayah Sulawesi.

Dengan ketergantungan impor dari Australia, harga daging sapi di Jabodetabek akan terkatrol naik jika harga sapi bakalan di negara tersebut mengalami kenaikan.

Oleh karenanya, Muladno menilai kegiatan industri sapi ini sebaiknya diserahkan pada pelaku usaha.

"Serahkan kegiatan industri sapi ini ke pebisnis secara total. Pemerintah hanya terbitkan regulasi yang kondusif bagi pebisnis," kata Muladno.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement