Kamis 21 Jan 2021 18:37 WIB

Pers dan Jurnalis dalam Krisis Kala Pandemi

Penelitian LBH Pers, IJRS, dan ICJR menyimpulkan dunia pers ikut terdampak pandemi.

Jurnalis melakukan tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (18/11). Dunia pers ikut terdampak pandemi Covid-19 berdasarkan penelitian bersama LBH Pers, IJRS, dan ICJR. (ilustrasi)
Foto:

Tidak hanya soal kebebasan pers dan keselamatan jurnalis, berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 35 persen jurnalis mengalami pemotongan gaji di bawah upah minimum provinsi (UMP) akibat dampak dari pandemi Covid-19.

"Gaji setelah dipotong masih sesuai UMP, 56 persen menjawab ya, dan 35 persen menjawab tidak, artinya ada upah yang dibayar di bawah UMP," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin.

Sementara itu, sebanyak 34,8 persen responden menyatakan tidak mendapatkan jaminan sosial selama pandemi. Sedangkan, 65,2 persen menyatakan mendapatkan jaminan sosial.

"Karena ini menjadi hal yang sangat penting ketika jurnalis harus mendapatkan jaminan sosial," ujarnya.

Kemudian, 32 persen responden juga menyatakan tidak mendapatkan informasi keamanan dan kesehatan. Selain itu hanya 55,2 persen yang bisa mengakses layanan kesehatan selama pandemi. Sedangkan 44,8 persen responden mengatakan tidak bisa mengakses layanan kesehatan selama pandemi.

"Karena memang tidak diberikan jaminan sosial oleh perusahaannya," tuturnya.

Melihat hal di atas LBH Pers, bersama dengan Institute for Criminal Justice (ICJR) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) merekomendasikan agar pemerintah dan DPR meninjau ulang dan membatalkan ketentuan mengenai ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memperlemah hak-hak pekerja media.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah merespons terkait persoalan pemotongan upah dan tunjangan yang tidak dibayarkan. Ida mengatakan, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang perlindungan pekerja atau buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanganan covid-19.

"SE Menaker tersebut memuat hal-hal yang terkait pembayaran upah bagi pekerja atau buruh yang dikategorikan sebagai ODP berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari maka upahnya harus dibayar penuh, kemudian bagi pekerja atau buruh yang dikategorikan kasus suspect Covid-19 dan dikarantina atau diisolasi menurut keterangan dokter maka upahnya dibayar penuh selama menjalani masa karantina atau isolasi,"  jelasnya.

Terkait 32 persen respoden yang menyebut tidak mendapatkan informasi keamanan dan kesehatan dari tempat kerjanya, Ida mengatakan, sejak WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global, Kemenaker telah mengambil langkah-langkah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja atau buruh. Antara lain, dilakukan dengan memperkuat pembinaan dalam upaya melakukan pencegahan penyebaran covid-19 yang diintegrasikan dengan program K3 di perusahaan.

Kemudian terkait hasil survei yang mengatakan, bahwa 36 persen responden tidak mendapatkan perlengkapan kesehatan sama sekali di masa pandemi, Ida mengatakan pekerja atau buruh berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.

"Pekerja atau buruh, termasuk pekerja media juga merupakan kelompok yang rentan tertular Covid-19 untuk itu dalam rangka perlindungan pekerja media harus dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19, perusahaan wajib menjalankan protokol kesehatan dan menyediakan kelengkapan yang dibutuhkan oleh pekerja agar terhindar dari Covid-19," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement