Selasa 19 Jan 2021 16:03 WIB

Muhammadiyah: Polisi Seperti tak Belajar dari Kasus Siyono

Muhammadiyah menilai, polisi mengabaikan SOP terkait penembakan laskar FPI.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nashih Nashrullah
Muhammadiyah menilai polisi mengabaikan SOP terkait penembakan laskar FPI. Ilustrasi FPI
Foto:

Usman mengingatkan, unlawful killing dan extrajudicial killing jauh berbeda. Sebab, unlawful killing bisa saja aparat mengarahkan penggunaan senjata api tidak proporsional, tapi dipandang dibutuhkan dan mengakibatkan kematian.

"Kalau extrajudicial killing lebih diarahkan, biasanya sudah berada dalam penguasaan petugas, kalau seseorang ditangkap, di bawah penguasaan petugas, diperiksa, disiksa, ditembak sampai mati, itu extraordinary killing," kata Usman dalam webinar Pusat Studi Hukum FH Universitas Islam Indonesia (UII).

Dia menyadari, tidak sedikit yang merasa lega dengan tindakan pemerintah yang bersikap keras kepada FPI. Tidak cuma soal enam Laskar FPI, tapi kepada pimpinan-pimpinannya sampai pelarangan terhadapnya secara organisasi.

"Tapi, ketentuan-ketentuan hukum tentang HAM tidak bisa dikesampingkan begitu saja hanya karena ada ketidaksukaan terhadap FPI. Siapa pun Muslim, non-Muslim, Arab, China, orang baik, orang jahat, tetap memiliki hak-hak hukum, hak-hak dasar yang harus dilindungi," ujar Usman.

Pada kesempatan yang sama dosen Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Dr Mudzakkir, mempertanyakan, apakah Komnas HAM mengambil peluru-peluru langsung dari lapangan atau temuan Polisi. Dia menilai, itu semua harus dijelaskan.

Sebab, temuan Polisi senjata api milik FPI, tapi senjata yang dipakai sudah dipegang Polisi ketika siaran pers. Padahal, dalam penyelidikan barang bukti itu tidak boleh dipegang dan harus bersih kemungkinan sidik jari orang lain.

"Lalu, dibuktikan sidik jari pemegang ini akan sama dari sidik jari anggota FPI yang meninggal itu, tapi kalau sudah dipegang-pegang semuanya pasti itu tidak akan bisa ketemu milik anggota FPI atau tiba-tiba ada di situ," kata Mudzakkir.

Kemudian, dia mempertanyakan kejahatan apa yang dilakukan HRS sampai dalam pembuntutan harus dilakukan tembakan langsung yang mematikan. Terlebih, pelanggaran HRS sudah terjadi dan saat itu tidak sedang dalam pengejaran. 

Bahkan, jika benar ada rencana pengerahan massa, tetap sah secara hukum asal memberi tahu polisi dan tidak ada alasan menembak di tempat. 

Dia berpendapat, dalam penegakan hukum pidana, Komnas HAM seharusnya mencari pembuktian itu. "Senjata yang dipakai tidak pernah ada yang dibuktikan benar-benar milik FPI. kalau itu tidak bisa dibuktikan milik siapa, digunakan untuk apa, Komnas HAM belum melakukan penyelidikan sempurna tapi kesimpulan sudah dibuat," ujar Mudzakkir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement