REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menetapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali yang efektif per 11 Januari hingga 25 Januari 2021 mendatang. Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Laura Navika Yamani meragukan kebijakan PPKM bisa menurunkan kasus positif Covid-19 karena pembatasan yang diberlakukan kali ini berbeda dengan sebelumnya.
"Sejak awal saya ragu kalau PPKM bisa menurunkan jumlah kasus, apalagi situasinya juga berbeda dengan sebelumnya. Saat ini kasus hariannya lumayan, lebih dari 10 ribu," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (12/1).
Jika dibandingkan dengan pembatasan aktivitas seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sebelumnya diterapkan, dia melanjutkan, banyak celah yang bisa dilakukan masyarakat atau pemerintah daerah (pemda). Dia mencontohkan salah satu ketentuan dalam PPKM yaitu kapasitas pekerja yang ada di kantor (WFO) maksimal 25 persen.
Namun, apakah bisa dipastikan yang melakukan mobilisasi dan yang menggunakan transportasi umum adalah kelompok WFO. Kata dia, pemda seringkali meninjau kembali indikator atau instruksi yang sudah diturunkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan menawar kebijakan yang telah diinstruksikan tersebut.
Ini termasuk masalah WFO harusnya 25 persen kemudian ditawar 50 persen. Artinya, dia melanjutkan, kebijakan dari Mendagri ini tidak bisa dipukul rata dan menjadi celah.
"Oleh karena itu, jika ditanya apakah PPKM bisa menurunkan positivity rate yang sudah 30 persen, maka ini kembali ke pemda. Karena instruksi ini kan hanya secara general saja, tapi implementasinya, pengawasannya, monitoringnya kembali ke pemda," katanya.