Rabu 06 Jan 2021 08:50 WIB

Mempertanyakan Efektivitas Kebiri Kimia

Perlu kajian teliti sebelum memvonis kebiri kimia ke pelaku kekerasan seksual anak.

Hukuman kebiri kimia ini sudah diadopsi beberapa negara di dunia, seperti Korea Selatan, Rusia, dan Polandia. Penerapan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak kini sudah dimasukkan dalam PP Nomor 70 Tahun 2020.
Foto: Reuters
Hukuman kebiri kimia ini sudah diadopsi beberapa negara di dunia, seperti Korea Selatan, Rusia, dan Polandia. Penerapan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak kini sudah dimasukkan dalam PP Nomor 70 Tahun 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Adysha Citra Ramadani, Antara

Hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak menuai pro dan kontra. Pasalnya kebiri kimia dinilai tidak efektif secara jangka panjang.

Baca Juga

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandra Moniaga menyebut, hukuman kebiri kimia sebagai bentuk penyiksaan dan pelanggaran prinsip HAM. "Kami berpendapat bahwa kebiri kimia merupakan salah satu bentuk penyiksaan yang tidak seusai dengan prinsip hak asasi manusia," kata Sandra kepada Republika, Selasa (5/1).

Komnas HAM menilai, perlu ada pengkajian ulang atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang Perlindungan Anak, dan PP Nomor 70 Tahun 2020 tersebut. Meskipun demikian, Komnas HAM mengapresiasi pemerintah yang telah mempertimbangkan aspek lain dalam PP tersebut.

"Sebaiknya (pengkajian ulang). Tetapi kami apresiasi aspek lain PP 77/2020 yang diatur seperti publikasi nama pelaku dan lain lain, " ujarnya.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menuturkan, sejak awal Komnas HAM berbeda pandangan dengan usulan hukum tambahan kebiri kimiawi tersebut. Meski, lanjut Taufan, pelaku kejahatan seksual terutama kepada anak-anak adalah kejahatan yang serius karena tidak saja menyakiti anak yang jadi korban, tetapi juga menghancurkan masa depan mereka. Namun, penghukuman seperti ini bertentangan dengan filosofi dan maksud pemidanaan yang tujuannya untuk mencegah dan merehabilitasi pelaku kriminal.

"Hukuman pidana tidak dimaksudkan sebagai sarana balas dendam, kekejaman tidak perlu dibalas dengan kekejaman, begitu lah ciri hidup peradaban masyarakat modern, " tuturnya.

Indonesia bahkan sudah memasukkan prinsip bahwa setiap orang tidak tidak boleh mengalami penyiksaan (pasal 28G ayat 2 UUD 1945), juga di dalam paal 33 ayat 1 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang bunyinya, “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya.”

Indonesia juga telah meratifikasi aturan Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. Pada Pasal 7 dalam Kovenan ini mengatur dengan sangat jelas konsern tentang perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan pihak lain. “Tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah.”

"Jadi, norma hak asasi manusia untuk tidak melakukan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi sudah menjadi bagian dari norma hukum Indonesia," ujarnya.

Meski Komnas HAM sangat menolak kekerasan seksual, namun norma dan prinsip HAM harus dijadikan pegangan bersama di dalam menyusun dan menerapkan hukum. Taufan juga menekankan tidak ada bukti ilmiah bahwa penerapan kebiri kimia akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual.

"Khususnya terhadap anak-anak. Kita mesti menyiapkan berbagai strategi lain untuk mengatasi masalah ini yang terus meningkat tiap tahun dan kompleksitas masalahnya juga makin tinggi, " ujarnya.

Namun, karena Perpu tentang penerapan kebiri sudah menjadi UU 17 2016 di mana hukuman tambahan kebiri kimia, penggunaan alat deteksi dan rehabilitasi sudah menjadi bagian dari norma hukum kita, maka PP ini adalah pengejawantahan dari UU tersebut.

"Saya meminta penggunaan PP ini mesti sangat-sangat terbatas, harus melalui kajian yang teliti untuk tidak sembarang digunakan kepada pelaku, juga membutuhkan pengawasan yang ketat dalam rangka mengurangi dampak medis mau pun psikologis yang oleh para ahli sudah sangat diwanti-wanti terutama dari IDI dan profesi medis dan psikologis lainnya," tegasnya.

Ia pun mencontohkan kasus Allan Turing di Inggris yang setelah dikebiri kimia, menimbulkan dampak psikologis yakni melakukan bunuh diri. Sehingga Inggris kemudian tidak lagi menggunakan hukuman ini. "Ini perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam penerapan PP tersebut," tegas Taufan.

"Penerapan PP ini kalau dilihat pasal-pasalnya juga memuat tentang penggunaan alat deteksi elektronik dan rehabilitasi. Usul saya sebaiknya penerapan PP tersebut harus di dalam kerangka rehabilitasi," tambahnya.

Taufan menambahkan, ada satu hal yang masih kurang diperhatikan, yakni perlakuan rehabilitasi serius kepada korban khususnya anak. "Tidak ada PP khusus tentang itu, padahal pemulihan korban jangka pendek dan jangka panjang sangat dibutuhkan, " tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement