REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur Hadi Sulistyo mengungkapkan produksi kedelai di wilayah setempat pada 2020 berada di kisaran 57.235 ton. Sedangkan kebutuhannya mencapai 96.235 ton dalam setahun. Artinya, Jatim mengalami defisit sekitar 39 ribu ton sepanjang 2020.
"Maka komoditas kedelai masih cukup besar ketergantungannya terhadap impor," ujar Hadi di Surabaya, Senin (4/1).
Hadi mengatakan, produksi kedelai selalu defisit setiap tahunnya karena merupakan tanaman sub tropis. Dimana untuk menanamnya membutuhkan biaya yang lumayan besar, sehingga petani banyak yang beralih ke tanaman komoditas lain seperti padi dan jagung.
Hadi menambahkan, bagi petani, menanam tanaman padi dan jagung masih lebih menguntungkan. "Karena pada tingkat biaya usaha tani dari kedelai yang kurang mendapatkan intensif dari pemerintah," ujarnya.
Situasi ini diperparah dengan kembali merebahkanya gelombang kedua Covid-19 di berbagai negara produsen kedelai. Hal ini diakuinya turut menyebabkan terhambatnya pasokan impor kedelai ke Indonesia. Ini juga diakuinya menjadi salah satu penyebab kelangkaan kedelai.
Di Indonesia pun, diakuinya distribusi antar wilayah mengalami hambatan karena adanya pembatasan-pembatasan dalam upaya menekan angka penyebaran Covid-19. Hadi mengaku akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim, maupun Satgas Covid-19 Jatim, dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut.
Selain itu, kata dia, Pemprov Jatim juga akan melakukan kerja sama perluasan area tanam dan sosialisasi pola tumpang sari kepada para petani, agar bersedia menanam kedelai. Setelah itu, Hadi mengaku akan mendorong para produsen olahan kedelai untuk menggunakan kedelai lokal.
Berdasarkan data Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok (Siskaperbapo) Disperindag Jatim, harga konsumen kedelai impor berada di kisaran Rp 9.821 per kilogram. Sedangkan harga kedelai lokal sekitar Rp 9.409 per kilogram.