REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengharapkan, Pemerintah Indonesia tidak menganggap remeh penemuan UUV (unmanned under water vehicle) atau drone di Pulau Tenggol, Masalembu, dan Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Pemerintah diminta segera menetapkan langkah-langkah strategis terkait hal itu.
"Kemhan, Mabes TNI, dan Mabes TNI AL tidak boleh memandang remeh hasil temuan ketiga UUV beberapa waktu yang lalu. Jangan sampai konsentrasi menghadapi Covid-19 kemudian mengurangi Kewaspadaan Nasional terhadap bahaya perang besar di Laut Cina Selatan," ucap Nuning.
Susaningtyas mengatakan, penemuan UUV itu merupakan fakta bahwa penggunaan unmanned system (sistem tanpa awak) telah dilakukan berbagai negara maju di laut. UUV yang ditemukan prajurit TNI AL berlabel Shenyang Institute of Automation Chinese Academic of Sciences merupakan platform khusus yang dirancang untuk mendeteksi kapal-kapal selam Non-Chinese dan merekam semua kapal-kapal yang beroperasi di perairan Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan.
Penemuan UUV ini juga menunjukkan bukti bahwa perairan Indonesia menjadi spillover adu kekuatan militer antara China dan Amerika Serikat berikut sekutunya. "UUV ini masuk ke dalam kategori platform penelitian bawah laut. Namun, tidak menutup kemungkinan China atau negara lainnya sudah meluncurkan USSV (Unmanned Sub-Surface Vehicle) yang sudah membawa persenjataan. USSV ini lebih berbahaya daripada UUV," kata dia dalam keterangan tertulisnya.
Wanita yang biasa disapa Nuning ini menjelaskan, semua UUV yang ditemukan dalam kondisi malfunction dan bukan expired yang artinya ada kendala teknis internal di dalam sistemnya. Dari analisis awal, ketiga UUV diperkirakan sudah memiliki jam selam lebih dari 25 ribu atau mendekati tiga tahun. Kemungkinan besar, UUV tersebut diluncurkan pada November 2017.
Menurut dia, langkah-langkah strategis yang dilakukan pemerintah terkait penemuan UUV itu, yakni pertama, dari aspek hukum, perlu segera ditetapkan peraturan penggunaan semua jenis unmanned system di wilayah Indonesia, baik UAV di udara, USV di permukaan laut, maupun UUV di bawah permukaan laut.
Sejalan dengan itu, lanjut Nuning, juga dibutuhkan peraturan pemerintah yang menentukan tata cara menghadapi illegal research (penelitian ilegal) di perairan Indonesia, mulai dari perairan kepulauan hingga zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Selain itu, Kementerian Pertahanan dapat mengajak Kementerian Perhubungan untuk segera memasang underwater detection device (UUD/alat deteksi di dalam laut) di seluruh Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan semua selat strategis untuk memantau semua lalu lintas bawah laut, utamanya di Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Makassar, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
"TNI AL harus segera melengkapi Puskodal-nya dengan sistem pemantauan bawah laut diperkuat dengan 'Smart mines' yang dapat dikendalikan secara otomatis atau manual. Kapal-kapal perang TNI AL juga harus dilengkapi dengan Anti-USSV System yang dapat menghadapi serangan USSV," papar Nuning.
TNI AL juga harus meningkatkan sistem pendidikan bagi prajurit TNI AL agar memiliki kecakapan melakukan peperangan Anti-USSV sebagai bagian dari kemampuan peperangan anti-unmannedsystem.