Kamis 24 Dec 2020 15:17 WIB
Teropong Republika 2020-2021

Menanti Sikap Masyarakat dan Pemerintah yang Lebih Responsif

Pemerintah harus bangun kewaspadaan, agar masyarakat berperan aktif tangkal Covid-19.

Rep: Rizky Suryarandika, Antara/ Red: Indira Rezkisari
Seorang bocah melintas di depan mural tentang penggunaan masker di Kota Tangerang, Banten, Minggu (21/12/2020). Mural tersebut dibuat sebagai edukasi kepada masyarakat untuk selalu menggunakan masker guna mencegah penyebaran Covid-19.
Foto: FAUZAN/ANTARA
Seorang bocah melintas di depan mural tentang penggunaan masker di Kota Tangerang, Banten, Minggu (21/12/2020). Mural tersebut dibuat sebagai edukasi kepada masyarakat untuk selalu menggunakan masker guna mencegah penyebaran Covid-19.

Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan permasalahan penting nasional yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana masalah serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.  

 

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari

"Saya ini kan orang kampung, kuat. Beda dengan orang kota yang lebih lemah. Makanya, di kampung nggak ada yang kena corona. Masak orang sesek aja dibilang corona, sih?"

Percaya tidak percaya. Mungkin itu kalimat yang tepat bagi sebagian orang Indonesia ketika ditanya soal virus corona.

Makanya, sembilan bulan berlalu sudah sejak kasus Covid-19 pertama kali diumumkan, penambahan laju kasus positif virus corona belum juga melandai. Bahkan hanya butuh tiga sampai empat hari penambahan kasus saja untuk menyentuh angka 20 ribu kasus Covid-19.

Mari lihat faktanya. Berdasarkan dari data Satuan Tugas Nasional Penanganan Covid-19, pemantauan kedisiplinan protokol kesehatan yang dilakukan sejak tanggal 18 November 2020, grafiknya sempat mengalami fluktuasi di sekitar pekan ke-4 November.

Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito pada 4 Desember 2020 mengatakan ada tren penurunan kepatuhan individu menggunakan masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Hal tersebut diamati Satgas terutama saat libur panjang 28 Oktober hingga 1 November 2020. Tren penurunan tersebut terpantau terus berlanjut pada 27 November 2020. Persentase kepatuhan untuk memakai masker baru 58,32 persen. Sedangkan untuk menjaga jarak persentasenya ialah 43,46 persen.

Padahal berdasarkan hasil studi oleh Hakan Yilmazkuday, untuk menurunkan angka kasus positif dan kematian maka minimal 75 persen populasi harus patuh menggunakan masker. Namun nyatanya, persentase kepatuhan penggunaan masker tidak mencapai 60 persen dan kepatuhan menjaga jarak baru 43 persen.

Hingga Desember, kepatuhan penggunaan masker itu masih juga dirasa belum ketat. Setidaknya kita masih bisa melihat sosok orang tanpa masker, atau mengenakan masker yang tidak sesuai misalnya melorot di bawah dagu atau masker dari bahan scuba yang sudah tidak disarankan pemerintah.

Siapa yang salah? Masyarakat atau pemerintah yang tidak tegas? Buktinya, makin minim patroli Satpol PP di jalanan menyisir mereka yang berkerumun tanpa mengindahkan protokol.

Beberapa bulan sebelum libur akhir tahun terjadi. Banyak maskapai mulai memberikan diskonnya. Tiket ke Bali yang sebelum pandemi harganya cukup tinggi, sekarang banting harga. Ke Yogyakarta di saat liburan Natal? Cuma butuh biaya tiket pesawat mulai dari Rp 200 ribu saja. Belum lagi diskon hotel yang terus meneruskan digemborkan promonya.

Kemenparekraf pun terus mengampanyekan liburan aman dan sehat. Masyarakat lalu tergoda. Dan, terjadilah. Liburan panjang di akhir Oktober yang gelombang kasusnya dirasakan hingga saat ini.

Komunikasi pemerintah memang membingungkan. Ada masalah edukasi yang serius yang harus digalakkan ke masyarakat, termasuk kebijakan yang juga harus tegas.

Jika kemarin disebut semua pelancong harus memiliki surat hasil rapid antigen. Mengapa sekarang kebijakan itu dikecualikan bagi pengguna kendaraan pribadi. Apakah pengguna kendaraan pribadi, bukan carrier Covid-19?

Di saat kasus belum juga reda, pemerintah juga sering mengglorifikasi kasus kesembuhan Covid-19. Persentase angka kesembuhan lebih sering diangkat, dibanding positivity rate atau angka kasus positif yang tinggi yang seharusnya menjadi perhatian lebih. Masyarakat dibuat terlena, seakan Covid-19 tidak semematikan itu.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menyarankan pemerintah menerapkan pola strategi komunikasi risiko guna mengefektifkan edukasi Covid-19. Dicky memantau program edukasi pemerintah belum berjalan efektif saat ini.

Strategi komunikasi risiko berupa penyampaian informasi yang membangun kewaspadaan masyarakat akan penyebaran virus. Sehingga diharapkan membangun kewaspadaan, kesadaran dan peran aktif dari masyarakat menangkal Covid-19.

"Dalam strategi terkini dan tepat dalam pandemi adalah menggunakan strategi komunikasi risiko. Pendekatan edukasi yang dipakai tidak bisa dilakukan secara umum," kata Dicky pada Republika, Senin (14/12).

Dicky menjelaskan strategi komunikasi risiko bisa lebih efektif daripada edukasi biasa. Sebab pendekatan edukasi umumnya mengacu pada pola lama yang mulai ditinggalkan yaitu konsep KAP (knowledge, attitude, practice).

"Sehingga penganut ini umumnya mengambil solusi edukasi untuk setiap isu komunikasi. Padahal upaya edukasi belum tentu atau tidak setiap populasi akan memerlukan," ujar Dicky.

Dicky menekankan pendekatan edukasi hanya bagian kecil dari strategi komunikasi risiko. Menurutnya, pemahaman yang tepat sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan setiap intervensi yang dilakukan pemerintah baik 3T, 3M maupun vaksinasi.

"Itu sebabnya perlu strategi komunikasi risiko, karena di dalamnya ada tahapan need assessment yang menjadi alat mengetahui apa penyebab ketidakpahaman atau ketidakmauan suatu populasi dalam melakukan suatu upaya pencegahan," tegas Dicky.

Dicky menyarankan pemerintah mengevaluasi program edukasi Covid-19 yang selama ini dijalankan. Dengan begitu dapat diketahui jika masih ada yang belum tepat baik saat awal pandemi maupun saat rencana program vaksin.

"Selain strategi komunikasi risiko yang dilakukan dengan tepat dan efektif, juga perlu role model (keteladanan)," kata Dicky. Ia menyoroti aparat pemerintah justru gagal memberi contoh pencegahan Covid-19. Hal ini lalu menimbulkan efek domino di masyarakat yang ikut-ikutan mengabaikan protokol kesehatan.

"Keteladanan juga masih minim, di tiap tingkatan. Termasuk di perkantoran-perkantoran, sehingga protokol hanya ada di atas kertas," ujar Dicky.

Dicky menekankan salah satu prinsip strategi komunikasi risiko adalah membangun kesadaran dan kewaspadaan. Artinya data atau info yang disampaikan harus komprehensif dan berimbang antara berita baik dan buruk. Namun pemerintah malah terkesan mengabaikannya.

"Rapat-rapat tatap muka masih dan makin menjamur. Perjalanan-perjalanan dinas tidak terkendali," ungkap Dicky.

Strategi komunikasi tetap harus dibarengi dengan intervensi pemerintah. Negara harus hadir dan memaksa warganya untuk patuh aturan, minimal agar bisa menekan lonjakan kasus.

Konsultan Biologi Molekuler Independen Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, Ph.D menilai penerapan protokol 3M dan pengendalian dengan 3T secara ketat dan masif sangat efektif untuk mengendalikan pandemi Covid-19. Ia belum bicara adanya vaksin Covid-19.

"Jadi, yang perlu kita ingat bahwa pandemi ini bisa dikendalikan tanpa vaksin, tapi memang perlu penerapan 3M dan 3T yang sangat ketat dan masif," kata Ahmad dalam Kelas Umum Pandemi yang diselenggarakan secara virtual oleh relawan Lapor Covid-19 dan Komunitas Jalansutra di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ahmad mengatakan bukti bahwa pandemi Covid-19 bisa dikendalikan tanpa vaksin dapat dilihat dari China. Negara Tirai Bambu tersebut menurutnya sudah dapat mengendalikan Covid-19 pada awal Maret, setelah mereka melakukan upaya pengendalian dengan penguncian wilayah, dengan 3T yaitu pemeriksaan, penelusuran dan penanganan, serta protokol 3M dengan memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak secara ketat dan masif.

"Kalau saya gambarkan, kita punya ban yang bocor. Kalau kita bicara untuk mengendalikan, kita tentu harus mengendalikan bocor yang besar. Bocor yang besar ini dengan 3M dan 3T. Dengan itu lubang besar dari pandemi bisa kita tutup. Tapi kalau ada lubang-lubang kecil, itu bisa ditutup dengan vaksin," katanya memberikan gambaran tentang pentingnya penanggulangan dengan 3M dan 3T dilengkapi dengan vaksinasi.

Ia mengatakan bahwa vaksin memang penting dalam penanggulangan wabah Covid-19. Namun demikian, vaksinasi bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi wabah tersebut.

Meskipun vaksin Covid-19 sudah ada, upaya penanganan Covid-19 dengan 3M dan 3T tidak serta merta bisa berhenti. Apalagi vaksin yang tersedia saat ini jumlahnya masih sedikit dan baru diprioritaskan untuk kelompok orang yang paling berisiko terkena Covid-19 terlebih dahulu.

Artinya, waktu yang dibutuhkan untuk benar-benar dapat mengendalikan wabah Covid-19 di Indonesia masih sangat lama. Penerapan protokol kesehatan dengan 3M oleh masyarakat dan upaya pengendalian dengan 3T oleh pemerintah harus terus menerus dilakukan, sehingga potensi infeksi Covid-19 dapat semakin dibatasi.

Protokol 3M dan 3T perlu terus menerus dilakukan, bahkan setelah ada vaksin karena virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, sangat mudah menular. Sehingga, penyebaran virus tersebut akan menjadi semakin tidak terbendung jika masyarakat abai menjalankan protokol 3M.

"Jadi perlu diingat, virus ini mudah sekali menular tanpa gejala, sekitar 40 persen. Artinya, di sini penting namanya physical distancing, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, karena itu memang riil. Jadi itu bukan sekadar mantra yang membosankan. Tapi itu yang paling penting. Setelah itu, pemerintah membantu dengan 3T, yaitu testing, tracing dan treatment," kata Ahmad.

Memang membutuhkan komitmen tinggi dari pemerintah dan jajarannya untuk sama-sama menyampaikan komunikasi akan bahaya Covid-19. Masyarakat harus didorong tertib. Pemerintah juga diminta mempraktikkan pola komunikasi dan kebijakan yang tegas.

Karena ada banyak negara yang berhasil melawan Covid-19. Artinya, Indonesia bukan tidak bisa juga berhasil melawan Covid-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement