REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mewawancarai juru bicara Front Pembela Islam (FPI) berjudul Sweeping Kekuasaan yang Zalim "Part 1", yang videonya diunggah di akun Youtube Fadli Zon Official. Ketika ditanya Fadli, Munarman menjelaskan mengapa di Pilkada 2017, FPI mendukung Anies Rasyid Baswedan daripada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Republika sudah meminta izin untuk mengutip hasil wawancara tersebut.
"(Anies) korban reshuffle kita melihat tentu saja secara naluri, kita akan memilih yang orang yang terzalimi. Sementara yang satu kan dengan arogansinya. Nah itu tanpa ada pembicaraan artinya deal-deal khusus, itu sudah naluri saja kita itu. Baru kemudian Anies melakukan komunikasi politik ke kita, datang ke tempat kita, saya kira itu biasa-biasa saja, normal-normal saja dia datang ke FPI," ucap Munarman dikutip Republika, Sabtu (19/12).
Munarman pun membongkar pembicaraan di Pilpres 2019, sebetulnya ada komunikasi tiga calon presiden dan wakil presiden dengan FPI. Menurut dia, komunikasi politik itu normal saja, lantaran FPI menganggap partai politik no, tapi politik yes.
"Kenapa begitu? Karena bagi kita, salah satu untuk cara strategi, untuk menjaga agama, terutama menjaga ketertiban umum masyarakat itu kan ada pada kekuasaan pemimpin," kata Munarman.
"Kalau pemimpinnya itu punya concern untuk membela supaya agama tidak rusak, semua agama sebetulnya, semua agama supaya tidak dinista, agama apapun juga, kemudian mayarakat hidupnya tertib atau katakanlah tentram. Artinya di lingkungannya bersih dari narkoba, bersih dari perjudian, bersih dari minuman keras, itu kan tugas-tugas dari kepemimpinan," ucap Munarman menambahkan.
Kalau kondisi itu bisa dilakukan pendekatan dengan sang pemimpin yang berkomitmen melakukan hal itu, Munarman menegaskan, tentu saja FPI akan tidak lagi disibukkan oleh menegakkan nahi munkar. Sehingga, FPI tinggal melakukan pembinaan dari segi ilmu dakwah dan agamanya.
"Jadi kemanfaatan itu lebih efektif kekuasaan itu bila digunakan oleh orang yang paham tentang agama dan mengelila negara. Sebab kalau kita lihat orang yang tidak paham agama, tidak paham bagaimana cara mengelola negara, ya seperti sekarang. Penistaan terus terjadi tapi ketika dikritik, malah kita balik dipukul sebagai orang yang menyebarkan kebencian. Nah itulah problemnya," ucap Munarman.
Mantan ketua umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tersebut pun menyinggung kembali perbedaan cara mengelola kekuasaan antara Pemprov DKI dan pemerintah pusat.
"Sekarang di Jakarta tidak ada masalah lagi. Justru pihak yang kontra terhadap gubernur sekarang yang terus membuat-membuat masalah, tapi bisa dihadapi dengan tenang, tidak marah, tidak mengeluarkan kata-kata kasar lagi," kata Munarman.
Dia menjelaskan, ketika ada seseorang mengkritik Gubernur Anies maka tidak masalah. Hal itu berbeda jika ada masyarakat yang mengkritik pemerintah pusat, pasti bisa berurusan dengan hukum dan dilaporkan ke aparat.
"Justru di level nasional, kita mengeluarkan kritik, kita perbandingan saja, antara orang yang mengkritik Gubernur DKI Jakarta Anies tidak pernah ada pelaporan satu pun, bahkan membuat macam-macam bullyan di medsos terhadap Anies, tidak ada persoalan. Tetapi begitu kita kritik di pemerintahan pusat, pemerintah pusat blingsatan tidak boleh orang mengkritik sehingga orang dikriminalisasi sedemikian rupa," kata Munarman.