REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menerima perbaikan permohonan yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dkk dalam gugatan omnibus law UU Cipta Kerja. Dalam permohonan perbaikannya, para pemohon melampirkan 49 bukti.
"Permohonan ini, baik secara tertulis dan secara lisan semuanya sudah disampaikan di dalam persidangan ini," ujar hakim konstitusi, Arief Hidayat, di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, dalam persidangan secara virtual, Rabu (16/12).
Arief mengucapkan terima kasih atas permohonan yang sudah diperbaiki dan diterima hakim konstitusi itu. Setelah itu, dia menyatakan persidangan selesai dan ditutup.
Pada kesempatan itu kuasa hukum KSPI dkk, Andi Muhammad Asrun, menjelaskan kepada hakim konstitusi soal perbaikan-perbaikan apa saja yang telah pihaknya lakukan. Beberapa di antaranya, memperbaiki soal pasal-pasal yang diuji, klasifikasi pemohon, subjek hukum para pemohon, dan legal standing para pemohon.
"Kami yang dikatakan berhimpitan dengan kerugian konstitusional kami sudah perjelas lagi sebagaimana dimuat di halaman 45 sampai dengan 123, Yang Mulia. Sebagaimana saran dari Yang Mulia Hakim Profesor Saldi Isra dan Yang Mulia Hakim Profesor Arief Hidayat," kata Andi.
Berdasarkan berkas permohonan perbaikan mereka, ada 48 ketentuan di dalam UU Ciptaker yang hendak mereka uji. Ketentuan yang diuji tersebut berasal dari tiga pasal di dalam UU Ciptaker, yakni pasal 81, pasal 82, dan pasal 83.
Pasal yang ketentuan di dalamnya paling banyak diuji ada pada pasal 81, yakni sebanyak 44 ketentuan. Sisanya dua ketentuan di pasal 82 dan dua ketentuan di pasal 83.
Ketentuan-ketentuan yang diujimaterikan di MK berkaitan dengan banyak hal terkait ketenagakerjaan. Hal-hal itu, di antaranya soal lembaga pelatihan kerja perusahaan, pelaksana penempatan tenaga kerja, tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja alih daya atau outsourcing.
Kemudian ketentuan soal waktu kerja, cuti, upah dan upah minimum, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK), penghapusan sanksi pidana, dan jaminan sosial.
Dalam bagian kerugian konstitusional dijelaskan alasan gugatan itu diajukan. Salah satu di antaranya soal tenaga kerja asing (TKA) yang diatur dalam Pasal 81 angka 4 UU Ciptaker itu.
Para pemohon merasa mendapatkan kerugian konstitusional dari aturan tersebut karena aturan itu membuat pengaturan proses rekrutmen dan penempatan TKA di Indonesia menjadi lebih mudah.
Di sana dijelaskan, pemberi kerja yang mempekerjakan TKA tidak lagi wajib memiliki izin, yakni izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberi kerja cukup memiliki Rencana Penggunaan TKA (RPTKA).
Namun, di aturan itu tidak disebutkan secara jelas kriteria keterangan yang harus dimuat dalam RPTKA yang sebelumnya ditentukan di UU ketenagakerjaan. Pemohon khawatir TKA dapat mengisi lapangan pekerjaan yang semestnya adalah hak pekerja atau buruh Indonesia.
Berkas perbaikan permohonan bernomor 101/PUU-XVIII/2020 itu diberikan ke MK pada tanggal 7 Desember 2020 lalu. Berkas perbaikan permohonan ini diajukan oleh sejumlah pemohon. Beberapa pemohon berasal dari serikat pekerja, yakni dari KSPI, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), FSPMI.
Kemudian ada juga pemohon berstatus pekerja tetap, pekerja kontrak, dan pekerja alih daya. Para pemohon memberikan kuasa kepada 20 kuasa hukum dalam berperkara di MK.