REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan tidak cukup berpikir pada konstruksi penanggulangan bencana. Namun, ia mengatakan, harus paham bagaimana mencegah dan memitigasi bencana.
"Kenali ancamannya, siapkan strateginya, ketahui masalahnya, dan carikan solusinya," kata Doni dalam Seminar Nasional Sosialisasi dan Pembelajaran Pemulihan Pascabencana yang diikuti secara daring dari Jakarta, Selasa (15/12).
Doni mengatakan Indonesia terletak di wilayah yang memiliki potensi ancaman bencana. Bank Dunia bahkan menyebutkan Indonesia sebagai salah satu dari 35 negara dengan tingkat bencana alam tertinggi.
Karena itu, bangsa Indonesia harus memahami potensi dan risiko bencana yang mungkin terjadi. Salah satu tujuan negara, sebagaimana tercantum pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
"Karena itu, negara melalui kementerian/lembaga, termasuk BNPB harus selalu hadir setiap bentuk bencana terjadi. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. BNPB harus selalu bersama masyarakat yang terdampak bencana," tuturnya.
Tekad BNPB untuk selalu bersama dengan masyarakat yang terdampak bencana itu sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, yaitu salus populi suprema lex yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Menurut Doni, kerugian personel, material, dan infrastruktur akibat bencana selama lima tahun terakhir sangat besar.
Tahun dengan bencana yang paling besar adalah 2018, dengan korban jiwa terbanyak, yaitu 6.240 orang. Bencana besar yang terjadi pada 2018 adalah gempa berturut-turut di Nusa Tenggara Barat, gempa diikuti tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah, dan tsunami akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda.
"Pada akhir 2018 juga masih terjadi longsor yang merenggut satu desa di Sukabumi yang menyebabkan 10 orang lebih tertimbun," katanya.