REPUBLIKA.CO.ID, Gemericik suara aliran Sungai Ciapus, disertai dengan suara para tonggeret yang bersahutan menyambut kedatangan para pengunjung Rumah Kopi Ranin. Letaknya berada di dalam kawasan hutan IPB, dan jauh dari keramaian pusat kota. Ketika datang, pengunjung harus menuruni tebing berundak yang sudah dihiasi dengan batu, dan melewati jalan setapak dengan bunga di sisi kanan dan kirinya.
Selain suasananya yang erat dengan pedesaan, bangunan dari Rumah Kopi Ranin sendiri terbuat dari kayu seperti rumah panggung. Dulunya, lahan di mana Rumah Kopi Ranin berdiri merupakan kubangan kerbau dengan semak belukar.
Sementara itu, bagian interior dalamnya dihiasi dengan ornamen-ornamen peralatan ‘jadul’. Termasuk meja dan bangku yang digunakan. Bahkan, beberapa meja di antaranya menggunakan meja jahit bekas.
“Selamat datang mas, mba,” sapa salah satu barista berpakaian hitam dari balik mejanya, dengan nada medhok yang sedikit kental.
Sejumlah kopi khas nusantara ditawarkan di kedai kopi yang sudah berdiri sejak 2012 ini. Mandailing, Linthong, Flores, Papua, Robusta Bogor, dan beberapa kopi lain ditawarkan Rumah Kopi Ranin. Untuk mendampingi kopi, ada juga kudapan mulai dari singkong goreng, pisang goreng, tempe goreng, nasi ayam geprek, dan nasi ayam lodeh.
Salah seorang pengunjung asal Jakarta Selatan, Fadil (25 tahun) menyukai suasana yang disajikan Rumah Kopi Ranin. Menurutnya, suasana pedesaan di Kopi Ranin jarang dirasakannya di Jakarta.
“Instagramable sih enggak, tapi buat foto bagus. Soalnya konsepnya masih natural,” ujar Fadil sambil menikmati nasi ayam lodehnya.
Meski sudah berdiri sejak April 2012, bukan dari awal Rumah Kopi Ranin terletak di Jalan Alternatif IPB, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pada tahun pertama pembukaannya, Rumah Kopi Ranin hanya menjual kopinya di food court Kampus IPB Dramaga.
Lalu, pindah ke kedai di Jalan Bangbarung, Kelurahan Bantarjati, Bogor Utara selama satu tahun. Kemudian berpindah lagi ke Jalan Kresna. Baru pada 2017, Rumah Kopi Ranin dibuka di Dramaga dengan konsep baru, yang bertahan hingga saat ini.
Salah satu Co-founder Rumah Kopi Ranin, Uji Sapitu (48 tahun) menuturkan sengaja memilih konsep untuk kedai kopinya ini berbeda dengan kedai kopi pada umumnya. Bersama kawannya, Tejo Pramono, mereka memulai dari sesuatu yang mereka sukai. Kopi, singkong goreng, pisang goreng, bahkan lodeh yang banyak dicari oleh pengunjung Rumah Kopi Ranin.
“Kita mulai dari sesuatu yang kecil, dari apa yang kita sukai. Apalagi, dulu kami (dia dan Tejo) adalah teman satu kost saat kuliah di IPB, dan kopi jadi keseharian kita,” tutur Uji.
Meski mengaku sengaja memilih konsep yang berbeda dari kedai kopi pada umumnya, namun Uji mengatakan dirinya bukanlah seseorang yang ‘anti barat’. Katanya, walaupun kedai kopinya menyajikan lodeh, bukan berarti dirinya tidak mau mengkonsumsi spaghetti.
“Penting untuk berani mengunggah deposit-deposit pada sub kultur. Tapi enggak anti barat,” kata Uji.
Hal itu, dilakukan karena Rumah Kopi Ranin ingin menjadi bagian hidup dari petani. Karena menyesuaikan waktu panen mereka, ‘tim dapur’ pun kadang kebingungan jika stok mereka sudah habis namun belum mendapatkan kiriman dari para petani.
Co-founder lainnya, Tejo Pramono juga menjelaskan keberhasilan Rumah Kopi Ranin dalam meningkatkan kualitas kopi. Rumah Kopi Ranin nuga memiliki Galeri Rasa yang memasarkan aneka jenis kopi nusantara karya para petani yang telah dikurasi. Berikut dengan menerbitkan Peta Citarasa dan Aroma Kopi Nusantara.
“Kami ingin menjadikan Rumah Kopi Ranin sebagai tempat berkarya bagi sarjana ilmu pertanian dan pangan, untuk tetap berkarya di bidangnya di desa,” kata Tejo.