Jumat 04 Dec 2020 00:25 WIB

Survei TII: DPR Lembaga Terkorup di Indonesia

Praktik suap di lembaga penegak hukum dan lembaga politik cederrung naik.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andi Nur Aminah
Peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola (kiri)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) merilis hasil Survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020. Dari catatan survei tersebut, persepsi masyarakat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menjadi institusi terkorup di Indonesia. Angkanya persepsinya mencapai 51 persen. "Praktik suap di lembaga penegak hukum dan lembaga politik cenderung meningkat," ujar Peneliti TII Alvin Nicola saat merilis hasil survei secara daring, Kamis (3/12).

Angka ini sebenarnya cenderung menurun dari tahun 2017 dengan 54 persen dan 2013 di angka 89 persen. Dibandingkan pengukuran GCB 2017, seluruhnya cukup turun signifikan, kecuali persepsi lada pemerintah Daerah yang naik satu persen. Lembaga legislatif, birokasi dan penegakan hukum dianggap masih jadi sarang korupsi.

Baca Juga

"Sejalan dengan tren di Asia, Parlemen merupakan institusi publik yang paling korup," tambah Alvin.

Adapun hasil survei GCB di tingkat Asia yang menunjukkan 32 persen responden mengangap anggota legislatif sebagai institusi terkorup. Disusul pejabat pemerintah daerah 30 persen dan pejabat pemerintahan 26 persen.

Selain DPR, data lembaga terkorup pada posisi kedua ditempati pejabat pemerintah daerah sebanyak 48 persen dan pejabat pemerintahan 45 persen. Institusi lain yang dianggap korup ialah polisi 33 persen, pebisnis 25 persen, hakim/pengadilan 24 persen, presiden/menteri 20 persen, LSM 19 persen, TNI 8 persen, dan terakhir pemuka agama tujuhpersen.

Alvin menambahkan meskipun tren untuk perbaikan pada institusi kepolisian dan pengadilan terlihat. Namun reformasi di institusi tersebut tidak signifikan.

Atas hasil survei tersebut, TII merekomendasikan pembenahan integritas di sektor politik, terutama dalam Partai Politik dan Pemilu. "Kami juga merekomendasikan agar institusi dan penegak hukum membangun pencegahan praktik suap, konflik kepentingan dan favoritisme dalam pelaksanaan pelayanan publik," kata Alvin.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement