Selasa 01 Dec 2020 12:57 WIB

Penelitian: Setengah Kasus Kekerasan di Papua Dilakukan KKB

Semua kejadian itu mengakibatkan 1.869 orang menjadi korban.

Papua
Foto: Antara
Papua

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Penelitian Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan sekitar 200 kasus kekerasan di Papua terjadi secara vertikal dan horizontal. Lebih dari setengahnya dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Jalan damai menjadi harapan semua pihak, termasuk generasi muda Papua.

Peneliti di Gugus Tugas Papua UGM Gabriel Lele menjelaskan tim UGM menemukan 204 tindak kekerasan di Provinsi Papua dan Papua Barat selama 2010 sampai Mei 2020. Kasus-kasus itu melibatkan warga masyarakat, aparat keamanan, dan KKB.

"Kami ingin memetakan kasus kekerasan di Papua polanya seperti apa. Konfliknya multidimensi. Tidak hanya secara vertikal, tapi tidak sedikit yang berupa kekerasan horizontal," kata Gabriel dalam siaran persnya akhir pekan lalu.

Melalui penelusuran di lapangan dan riset media lokal, tim UGM menemukan sebagian besar kasus, yakni 118 kasus, dilakukan oleh KKB. Adapun 42 kasus oleh warga, 28 kasus oleh TNI-Polri, dan 16 kasus oleh orang tak dikenal.

Semua kejadian itu mengakibatkan 1.869 orang menjadi korban. Dari jumlah itu, 356 orang meninggal dunia yang sebagian besar, 250 orang, atau setara 70 persen adalah warga sipil. Kematian juga dialami 46 personel TNI, 34 polisi, dan 26 anggota KKB.

Pada 2017, korban mencapai jumlah terbanyak yakni 635 orang. Adapun pada 2019, korban jiwa mencapai angka tertinggi yakni 250 orang. Sebagian besar daerah yang mengalami tindak kekerasan di wilayah pegunungan Papua, dengan kasus tertinggi di Kabupaten Puncak Jaya, Mimika, dan Nduga.

Riset UGM juga menunjukkan, 64 persen motif tindakan kekerasan terkait gerakan separatis. Selain itu, ada motif politik pada 11 persen kasus, balas dendam 10 persen, pemerkosaan dan ekonomi masing-masing dua persen.

Menurut dia, pemerintah telah menempuh sejumlah pendekatan agar kekerasan di Papua tak terulang. Pendekatan keamanan secara tradisional seperti mengerahkan pasukan tak lagi jadi pilihan. "Tapi pendekatan yang menjawab kebutuhan masyarakat agar bisa berubah. Kesehatan, pendidikan, ekonomi diperbaiki," ujarnya.

Hanya saja, kata dia, sekelompok orang, terutama KKB, tak peduli dengan langkah pemerintah. "Mereka harus didekati secara kultural dan dialog. Di titik ini, pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Tokoh agama dan masyarakat harus dirangkul," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini.

Gabriel menyebut dua langkah itu menjadi upaya penanganan kekerasan vertikal di Papua. Adapun kekerasan horizontal diselesaikan melalui transformasi nilai konflik yang mencuat saat momen tertentu, seperti Pilkada. "Kami melakukan advokasi ke pemda bagaimana nilai kekerasan secara kultural itu ditransformasi ke nilai yang lebih damai," ujarnya.

Menurutnya, temuan riset ini akan terus diperbarui dan menjadi bekal bagi pemerintah dan pemda untuk meretas jalan damai di Papua. "Satu kasus saja bisa membuat buyar berbagai terobosan positif pemerintah. Banyak capaian pembangunan kalah gaungnya dengan satu kasus kekerasan," kata Gabriel.

Harapan untuk Papua damai pun disuarakan generasi mudanya. "Papua yang damai itu sudah menjadi harapan yang melekat di diri kita sebagai manusia," ujar Hemi Enumbi, mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.

Menurutnya, banyak hal harus dibenahi oleh pemerintah daerah dan diperlukan interaksi yang baik oleh warga di sana yang beragam. "Kejadian-kejadian di Papua adalah kurang pemimpin yang bijak dan kurangnya pemahaman kepada masyarakat Papua," kata dia.

Namun ia percaya Papua dapat dibenahi melalui pendidikan yang merata bagi warga setempat. "Jadi intinya kembali ke pendidikan karena dari pendidikan itu bisa membawa Papua bisa lebih maju dan bisa hidup dengan damai," kata Hemi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement