REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Yayasan Keanekaragaman Hayati (Yayasan KEHATI) dan tokoh lingkungan Emil Salim mendorong semua pihak untuk terus menjaga keragaman hayati Indonesia. Sebab, semua unsur alam memiliki keterkaitan satu dengan lainnya, di tengah ancaman kemunduran kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia.
"Dalam 10 tahun ini kondisi keanekaragaman hayati di Asia mundur. Keadaan di Indonesia sendiri kita melihat ada kemunduran, keanekaragaman itu mundur karena orang tidak paham kegunaannya," katanya ketika membuka penganugerahan KEHATI Awards 2020 yang dipantau secara virtual di Jakarta, Jumat (27/11).
Pada 1994, usai menyelesaikan jabatan sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan, Emil Salim beserta sejawatnya Koesnadi Hardjasoemantri, Ismid Hadad, Erna Witoelar, M.S. Kismadi, dan Nono Anwar Makarim mendirikan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Yayasan KEHATI). KEHATI merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan.
Menurut Emil Salim, masih banyak ditemukan individu yang mempertanyakan mengapa hutan lindung tidak dimanfaatkan untuk pertanian atau perkebunan komoditi yang menguntungkan. Hal itu menunjukkan masih banyak yang tidak paham apa artinya keanekaragaman hayati.
Menteri Lingkungan Hidup periode 1978-1993 itu mengatakan, alam bergerak dalam sebuah kondisi saling berkaitan satu dengan lainnya dengan masing-masing memiliki fungsi sendiri, tetapi saling menghidupi. Karena itu penting untuk menjaga fungsi keterkaitan itu agar alam bisa berjalan secara utuh. Hal itu karena jika satu mata rantai putus maka tidak terjamin keberlanjutan dari alam.
Karena itu, guru besar Sekolah Ilmu Lingkungan Hidup Universitas Indonesia itu menegaskan pentingnya hutan lindung dalam fungsinya untuk memastikan semua mata rantai ekosistem berjalan sebagaimana mestinya. "Apabila sekarang hutan kian dikurangi, hutan dirubah fungsinya maka yang terjadi adalah bahwa dampak dari fungsi lahan hutan menyerap CO2 berkurang," katanya.
Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan semakin besar dan mengakibatkan kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim. Kondisi itu eperti yang terjadi pada 2019 ketika terjadi kenaikan suhu bumi sebesar 1,1 derajat Celcius yang memiliki dampak luas terhadap seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan ancaman kenaikan permukaan laut, demikian Emil Salim.