Kamis 26 Nov 2020 18:49 WIB

Tren Kenaikan Kasus Covid-19 di Riau, Jawa Timur, dan DKI

Di DKI Jakarta, tren kenaikan kasus tertinggi ada di Jakarta Timur.

Warga mengenakan masker dan pelindung wajah saat beraktivitas dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Pejompongan, Jakarta. Satgas meminta daerah yang kasus kenaikan Covid-19 tinggi untuk fokus menekan penyebaran virus corona. Riau, Jawa Timur, dan DKI Jakarta masuk daerah prioritas karena tren laju kasusnya tinggi.
Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA
Warga mengenakan masker dan pelindung wajah saat beraktivitas dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Pejompongan, Jakarta. Satgas meminta daerah yang kasus kenaikan Covid-19 tinggi untuk fokus menekan penyebaran virus corona. Riau, Jawa Timur, dan DKI Jakarta masuk daerah prioritas karena tren laju kasusnya tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Antara

Tiga daerah di Indonesia tercatat miliki tren kenaikan kasus positif tertinggi. Daerah tersebut adalah Riau, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.

Dari data Satgas Penanganan Covid-19, Riau memiliki kasus kenaikan tertinggi yakni sebesar 139,4 persen, Jawa Timur sebesar 44,4 persen, dan DKI Jakarta sebesar 23,9 persen. Satgas Penanganan Covid-19 meminta pemerintah ketiga daerah tersebut berupaya keras memutus mata rantai penularan virus corona.

Wiku meminta pemerintah daerah di provinsi prioritas yang penanganan Covid-19 di daerahnya tak kunjung membaik agar menjadikan data sebagai acuan pengambilan keputusan di masing-masing daerahnya. “Pemerintah daerah dari daerah prioritas yang tidak kunjung membaik perkembangan penanganan Covid sampai saat ini, mohon agar membaca data dan jadikan data sebagai acuan untuk pengambilan keputusan sesuai arahan Presiden,” kata Wiku saat konferensi pers di Kantor Presiden, Kamis (26/11).

Perkembangan kasus Covid di 13 provinsi prioritas memang bervariasi. Per 22 November Satgas mencatat terdapat tujuh provinsi yang mengalami penurunan kasus positif dan enam provinsi yang mengalami peningkatan kasus positif.

Selain Riau, Jatim, dan DKI Jakarta yang mengalami peningkatan jumlah kasus positif tertinggi, juga terdapat Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Utara yang turut mengalami kenaikan kasus. Khusu di Provinsi DKI Jakarta, Satgas mencatat Jakarta Timur menjadi penyumbang tertinggi kasus positif yakni sebesar 18,92 persen dari total kasus yang ada di provinsi.

Sedangkan tujuh provinsi yang mengalami tren penurunan kasus positif tertinggi yakni Papua sebesar 73,8 persen, Jawa Tengah sebesar 31,2 persen, Jawa Barat sebesar 19,6 persen, Kalimantan Timur 9,8 persen, Bali 8,4 persen, Sumatera Barat 7,6 persen, dan Aceh 6,7 persen.

“Pada pemerintah daerah dan masyarakat provinsi-provinsi ini diharap jangan lengah atas capaian ini. Tetaplah konsisten untuk menekan angka kasus untuk terus menerus sampai nantinya jumlah kasus positif dapat hilang sepenuhnya,” ucap Wiku.

Selain di Jakarta Timur, berikut daftar kabupaten kota yang menjadi penyumbang tertinggi kasus positif di 13 provinsi prioritas:

1. Provinsi Aceh yaitu Kota Banda Aceh sebanyak 28,43 persen dari total kasus.

2. Sumatra Utara yaitu Kota Medan sebanyak 47,74 persen dari total kasus.

3. Sumatra Barat yaitu Kota Padang sebanyak 55,55 persen dari total kasus.

4. Riau yaitu Kota Pekanbaru sebanyak 52,18 persen dari total kasus.

5. DKI Jakarta yaitu Jakarta Timur sebanyak 18,92 persen dari total kasus.

6. Jawa Barat yaitu Kota Bekasi sebanyak 18,5 persen dari total kasus.

7. Jawa Tengah yaitu Kota Semarang sebanyak 25,38 persen dari total kasus.

8. Jawa Timur yaitu Kota Surabaya sebanyak 28,32 persen dari total kasus.

9. Bali yaitu Kota Denpasar sebanyak 27,54 persen dari total kasus.

10. Kalimantan Selatan yaitu Kota Banjarmasin sebanyak 24,97 persen dari total kasus.

11. Kalimantan Timur yaitu Kota Samarinda sebanyak 29,99 persen dari total kasus.

12. Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar sebanyak 46,37 persen dari total kasus.

13. Papua yaitu Kota Jayapura sebanyak 47,66 persen dari total kasus.

Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil inspeksi BPOM, Bio Farma, dan MUI, mutu dan keamanan vaksin Covid-19 buatan perusahaan asal China, Sinovac, memenuhi aspek cara produksi obat yang baik. "Dapat kami laporkan bahwa alhamdulillah kalau dilihat mulai dari aspek mutu vaksin tersebut dengan hasil yang didapatkan Tim BPOM, Bio Farma, dan MUI untuk melihat aspek halalnya dapat dikatakan produk tersebut (vaksin Covid-19 buatan Sinovac) memenuhi aspek cara produksi obat yang baik di tempatnya," kata Kepala BPOM RI Penny Kusumastuti Lukito dalam jumpa pers secara daring di Bandung, Kamis (26/11).

Ia menuturkan berdasarkan pemantauan selama satu bulan pascasuntik vaksin Covid-19 dosis kedua terpantau aman dan hal ini berdasarkan pantauan awal terkait dengan hasil analisa, sampel darah, dan lainnya. "Jadi kami laporkan bahwa hasil uji klinik yaitu dari hasil analisa, lalu melalui sampel darah, dapat dikaitkan dengan keimunogenisitasnya. Jadi itu aspek parameter ukur untuk menunjukkan saintifik dari aspek keamanan dan aspek efikasi itu sudah didapatkan bahwa setelah penyuntikan kedua data-data akan dijelaskan lebih jauh lagi," ujar dia.

Dia menjelaskan perkembangan terakhir akan dilaporkan oleh tim peneliti dan khususnya yang menunjukkan aspek keamanan yang baik dari vaksin tersebut akan terus dipantau oleh pihaknya sampai jangka waktu tiga bulan dan sampai enam bulan ke depan. "Sejauh ini data satu bulan saya kira sudah cukup menggembirakan ya," kata dia.

Saat ini, BPOM masih menunggu proses analisis dan uji klinis tahap 3 yang dilakukan di Kota Bandung, Jawa Barat telah selesai. "Data-datanya masih dalam tahap analisis. Sekarang kita sedang menunggu proses analisis, sehingga aspek keamanan efikasi bisa kita dapatkan, dan kita bisa berikan EUA sehingga vaksinasi bisa dilakukan," kata dia.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan dengan lolos uji klinis fase 1 dan 2 berarti kandidat vaksin Sinovac sudah memenuhi persyaratan terkait dengan keamanan dan efikasi dalam jumlah subjek penelitian terbatas. "Intinya dengan sudah diizinkannya dia (vaksin Sinovac) masuk ke fase 3 berarti fase 1 dan fase 2 sudah memenuhi persyaratan yaitu fase 1 terutama adalah hal 'safety' (keamanan) kemudian fase 2 'safety' dan 'eficacy' (efikasi) dalam jumlah yang terbatas," katanya.

Ia mengatakan selama uji awal fase 1 dan fase 2 yang utamanya berkaitan dengan aspek keamanan dan efikasi vaksin, sudah dianggap memenuhi persyaratan dan dapat diterima hasilnya, maka boleh dilanjutkan ke uji klinis fase 3.

Uji klinis fase 1 dan 2 vaksin Sinovac dilakukan di China dan sudah selesai. Publikasi hasil uji klinis fase 1 dan 2 vaksin CoronaVac yang dibuat perusahaan asal China, Sinovac, terbit setelah beberapa bulan uji klinis fase 1 dan 2 selesai dilakukan.

Menanggapi hal itu, Amin mengatakan tidak selalu hasil fase-fase uji klinis dipublikasi secara lengkap. Hal yang penting, katanya, hasil uji klinis itu dilaporkan ke otoritas setempat di negara yang bersangkutan tempat uji klinis dilakukan, seperti BPOM setempat sehingga BPOM setempat melakukan peninjauan dan evaluasi terhadap hasil itu. Jika BPOM setempat sudah meninjau hasil uji klinis misalnya fase 1 dan hasilnya bisa diterima, maka bisa dilanjutkan ke fase berikutnya.

Tentunya BPOM di setiap negara juga terikat pada satu standar. Mereka harus saling berkomunikasi dengan BPOM di seluruh negara terkait dengan suatu produk termasuk vaksin.

"Kalau misalnya suatu negara sudah menerbitkan izin misalnya untuk produknya tentu akan ditanya-tanya lagi berdasarkan apa saja, jadi antar BPOM akan saling berkomunikasi," tuturnya.

Masing-masing otoritas setempat di setiap negara juga berkomunikasi dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk memastikan keamanan vaksin tersebut. Jika hasilnya dapat diterima dan terbukti secara ilmiah maka WHO juga memberikan persetujuan.

photo
BPOM keluarkan izin penggunaan dua obat untuk pasien Covid-19. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement