Selasa 24 Nov 2020 16:42 WIB

'Ini Beratnya Kalau Banyak Pasal yang Diujikan'

MK menggelar sidang uji materi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Ketua majelis hakim Konstitusi Saldi Isra (kanan) didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kiri)  memimpin sidang panel pendahuluan permohonan di gedung MK, Jakarta,Selasa (10/12).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua majelis hakim Konstitusi Saldi Isra (kanan) didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kiri) memimpin sidang panel pendahuluan permohonan di gedung MK, Jakarta,Selasa (10/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Konstitusi, Saldi Isra, meminta para pemohon perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 untuk membedakan dengan jelas kerugian hak konstitusional dengan alasan-alasan mempersoalkan konstitusionalitas norma-norma yang diujikan. Pasalnya, dia melihat, dalam permohonan yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) itu masih banyak yang berhimpitan.

"Jadi ini beratnya kalau banyak pasal yang diujikan, bukan kami tidak menerima banyak pasal yang diujikan, karena masing-masing pasal itu harus diuraikan secara jelas mengapa pasal itu bertentangan dengan UUD yang dijadikan dasar pengujian," kata Saldi dalam sidang virtual, Selasa (24/11).

Dia mengatakan, kerugian hak konstitusional dan alsan-alasan mempersoalkan konstitusionalitas norma-norma yang diujikan merupakan dua hal berbeda. Hak konstitusional, kata dia, menguraikan kedudukan hukum pemohon. 

"Jadi menjelaskan kenapa dirugikan dengan berlakunya norma-norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya," kata dia.

Kemudian, di pokok permohonan terdapat alasan-alasan mengajukan permohonan. Di situ, yang diuraikan adalah alasan para pemohon berpendapat pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945. 

Dia melihat, masih ada banyak yang berhimpitan terkait kedua hal tersebut pada permohonan yang diajukan oleh KSPI tersebut. "Ini banyak yang berhimpitan, Pak Asrun. Seolah-olah dalil kerugian konstitusional itu menjadi dalil yang digunakan untuk menjelaskan pertentangan konstitusionalitas. Coba dilihat lagi nanti," tutur dia.

MK menggelar sidang uji materi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh KSPI. Agenda sidang kali ini masih berupa pemeriksaan pendahuluan dan akan kembali sidang dua pekan mendatang.

Sidang perkara bernomor 101/PUU-XVIII/2020 itu dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Kuasa hukum para pemohon, Andi Muhammad Asrun, membacakan permohonan yang mereka ajukan tersebut di hadapan majelis hakim konstitusi secara virtual.

"Para pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap pasal 81, 82, 83 UU Cipta Kerja," ungkap Andi dalam persidangan virtual pada Selasa (24/11) siang.

Dia menjelaskan, ada sejumlah pasal dalam UU Dasar (UUD) 1945 yang dijadikan pijakan pengujian konstitusionalitas UU Cipta Kerja itu, yakni pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7). Kemudian pasal 27 ayat (2), pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28e ayat (3) dan pasal 28i.

Menurut penjelasannya, ada sejumlah hal yang diatur di dalam ketiga pasal yang diujimaterikan di MK itu. Yakni soal lembaga pelatihan kerja, pelaksana penempatan tenaga kerja, tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu, pekerjaan alih daya atau outsourcing, dan tentang waktu kerja.

Kemudian ada pula aturan yang mengatur tentang cuti, upah dan upah minimum, pemutusan hubungan kerja, uang pesangon, uang penggantian hak dan uang penghargaan masa kerja, penghapusan sanksi pidana, serta jaminan sosial.

Menurut Andi, para pemohon telah mengalami kerugian konstitusional dalam perubahan aturan yang ada pada UU Cipta Kerja. UU berbentuk omnibus law itu juga dinilai telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta menghilangkan, mengurangi, dan atau menghalang-halangi hak para pemohon.

"Sampai kepada petitum tapi tidak semua petitum kami bacakan karena demikian banyak. Pertama, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata dia.

Andi tidak membacakan semua petitum dan hakim mepersilakannya. Berdasarkan apa yang dia sebutkan, petitumnya mencapai 92 poin sebelum akhirnya giliran majelis hakim konstitusi yang memberikan nasihat kepada para pemohon sebagaimana ketentuan beracara di MK.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement