Senin 23 Nov 2020 15:47 WIB

Mengapa Efektivitas Vaksin yang Rendah Saja Sudah Lebih Baik

Perlindungan vaksin yang rendah, lebih baik dari tidak ada perlindungan sama sekali.

Pesepeda berhenti di dekat baliho sosialisasi manfaat vaksinasi di Jalan Asia Afrika, Senayan, Jakarta, Minggu (22/11/2020). Presiden Joko Widodo memperkirakan pemberian vaksin COVID-19 dapat dilakukan pada akhir Desember 2020 atau awal Januari 2021, tergantung dari datangnya vaksin dan proses persiapan yang dilakukan di Indonesia.
Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Pesepeda berhenti di dekat baliho sosialisasi manfaat vaksinasi di Jalan Asia Afrika, Senayan, Jakarta, Minggu (22/11/2020). Presiden Joko Widodo memperkirakan pemberian vaksin COVID-19 dapat dilakukan pada akhir Desember 2020 atau awal Januari 2021, tergantung dari datangnya vaksin dan proses persiapan yang dilakukan di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Adysha Citra Ramadani, Indira Rezkisari

Berbagai perusahaan farmasi di dunia sedang berjuang menemukan vaksin virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) yang paling efektif. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) bahkan telah menetapkan efektivitas vaksin Covid-19 yang boleh digunakan minimal 50 persen.

Baca Juga

Dokter Spesialis Penyakit Dalam/Vaksinolog Dirga Sakti Rambe menjelaskan, setiap vaksin punya efektivitas berbeda-beda. "Khusus untuk vaksin Covid-19 sendiri, WHO sudah menetapkan bahwa minimal efektivitasnya 50 persen," ujarnya saat mengisi konferensi virtual FMB9 bertema 'Vaksin Sebagai Perencanaan Preventif Kesehatan', Senin (23/11).

Artinya, ia menyebutkan vaksin Covid-19 yang bisa digunakan memiliki efektivitas minimal 50 persen. Jika efikasinya lebih tinggi lagi, kalau bisa 90 persen maka tentu lebih baik.

Namun vaksin, termasuk imunisasi Covid-19, tidak akan mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) jika efektivitasnya rendah. Untuk mendapatkan persetujuan dari BPOM, vaksin harus melalui tahapan yang sangat panjang, mulai dari penelitian, uji klinis untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.

Awalnya vaksin akan dicoba pada binatang percobaan, setelah terbukti aman dan efektif, baru diuji pada manusia. Ia menambahkan, percobaan pada manusia ini disebut uji klinis memiliki tiga fase yaitu fase 1, fase 2, dan fase 3 yang melibatkan ribuan orang sebagai relawan.

Kemudian setelah itu baru diketahui hasilnya apakah vaksin aman dan efektif kemudian mendapatkan izin dari BPOM. Ia mengakui tahapan persetujuan vaksin cukup panjang.

"Sehingga, dulu satu vaksin yang aman dan efektif bisa membutuhkan kurang lebih 10 tahun," katanya.

Kendati demikian, ia mengakui di masa pandemi ini harus ada akselerasi. Namun masalah keamanan dan efektif tidak boleh dilupakan.

Oleh karena itu, ia menyambut baik dalam kurun waktu setahun ini ada dua atau tiga laporan yang menunjukkan efektivitas vaksin Covid-19 yang sangat baik. Ini termasuk uji klinis vaksin Sinovac di Bandung, Jawa Barat, yang tengah dalam proses penelitian dan uji klinis. Sayangnya, dia melanjutkan, hingga saat ini belum ada satupun vaksin Covid-19 yang mendapatkan izin dari otoritas.

"Semua akan dievaluasi oleh BPOM. Jadi kita harus menunggu dan mengetahui hasilnya," ujarnya.

Bila BPOM mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA), ia meminta semua pihak harus percaya bahwa vaksin ini betul-betul aman dan efektif. Sehingga masyarakat tidak perlu ragu. Sebab, vaksin yang sudah mendapatkan izin dari BPOM dipastikan aman dan efektif.

"Kami berharap dalam waktu dekat ini akan ada," katanya.

Kendati demikian, ia berpesan seandainya vaksin Covid-19 sudah tersedia, masyarakat harus tetap harus konsisten melaksanakan protokol kesehatan 3M yaitu menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. "Semua upaya pencegahan dikerjakan bersama-sama supaya kita terlindung dari Covid-19," ujarnya.

Efektivitas vaksin Covid-19 di level 50 persen seperti disyaratkan WHO memang terkesan rendah. Tapi perlindungan apapun lebih baik daripada tidak ada perlindungan sama sekali.

"Saya tahu 50 persen terdengar rendah tapi tetap itu adalah perlndungan, dan perlindungan yang sedikit lebih baik daripada tidak ada perlindungan sama sekali," kata Dr Jeff Kwong, profesor kesehatan publik dan pengobatan keluarga dari Centre for Vaccine Preventable Diseases di Universitas Toronto.

Bila vaksin efektif 50 persen, sangat mungkin vaksin yang hanya bisa melindungi setengah kelompok yang menerimanya. Dan, tidak memberikan perlindungan ke setengah kelompok lain. Mungkin juga vaksin menghasilkan efek yang berbeda-beda ke penerimanya. Misalnya membantu mencegah penyakit di orang tertentu atau bekerja mengurangi keparahan dampak Covid-19 di orang lain.

Tapi jika, vaksin Covid-19 pun hanya efektif 50 persen, pakar mengatakan vaksin tetap membawa perubahan. Pakar menekankan, vaksin flu memiliki efektivitas yang berbeda dari tahun ke tahun. Bisa hanya efektif 20 hingga 60 persen selama satu dekade terakhir, tapi intinya vaksin flu hingga saat ini masih tetap memberi manfaat. Seseorang yang sudah mendapatkan vaksin flu bisa berkurang gejala flunya, termasuk mengurangi risiko dirawat hingga meninggal akibat flu menurut data CDC.

Dikutip dari NBC News, jika ada cukup banyak orang yang diimunisasi maka vaksin Covid-19 tidak harus mendekati sempurna untuk bisa memberi dampak substansial ke publik. Demikian menurut Dr Gregory Poland, direktur Vaccine Research Group di Mayo Clinic.

"Jika vaksin sudah 60 atau 70 persen efektif dan semua disuntik, bisa jadi terwujud immunity herd dan lalu secara potensial dampak pandemi bisa berkurang," kata Poland.

Kandidat vaksin Covid-19 dari Pfizer dan Moderna sudah disebut memiliki efektivitas bahkan melebihi 90 persen. Efikasi yang mencapai lebih dari 90 persen pada analisis awal tentu merupakan kabar yang menggembirakan. Akan tetapi, ilmuwan independen memperingatkan untuk tidak terlalu mengelu-elukan hasil dari analisis awal.

Alasannya, hingga saat ini belum diketahui bagaimana keamanan kandidat vaksin tersebut dalam jangka panjang. Selain itu, data efikasi dari kandidat vaksin tersebut juga belum terkumpul semua. Belum ada pula yang mengetahui berapa lama perlindungan dari kandidat vaksin tersebut bila bertahan.

The New York Times juga mengungkapkan ada beberapa data penting yang belum dirilis. Misalnya data apakah orang-orang yang terlibat dalam percobaan mengalami Covid-19 gejala ringan atau data mengenai efek samping apa yang ditemukan.

Hal lain yang disoroti adalah hasil analisis awal ini dirilis oleh perusahaan, bukan dirilis melalui jurnal medis. Proses keseluruhan dari uji coba juga belum usai sehingga angka efikasi masih mungkin berubah.

Sekalipun data-data terkait keamanan sudah terkumpul dan perusahaan mendapatkan otorisasi darurat, ada beberapa pertanyaan yang juga masih perlu dijawab. Misalnya, apakah vaksin tersebut efektif pada semua populasi, berapa banyak vaksin yang bisa diproduksi oleh perusahaan, siapa yang berhak mendapatkannya pertama kali, hingga bagaimana vaksin didistribusikan.

Kabar bahagia ini juga tidak mengubah fakta bahwa pandemi Covid-19 masih jauh dari selesai. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tidak mengendorkan kewaspadaan mereka dan tetap mematuhi protokol kesehatan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, seperti menggunakan masker, menjaga kebersihan tangan, dan menjaga jarak fisik.

Ketika vaksin Covid-19 telah tersedia Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengusulkan biaya vaksinasi ditanggung oleh pemerintah. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyoroti pernyataan Menteri Kesehatan RI saat RDPU dengan KOMISI IX DPR (18/11) bahwa skema vaksinasi Covid-19 hanya 32 juta orang yang akan ditanggung oleh pemerintah, dan 75 juta skema mandiri (out of pocket).

"Jika skema ini yang akan dilakukan pemerintah maka ini skema yang tidak adil," katanya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Ahad (22/11).

Sebab dari sisi kebijakan, dia melanjutkan, vaksinasi adalah upaya mewujudkan equity sebagai bentuk public goods yang harus dibiayai sepenuhnya oleh negara. Apalagi Covid-19 sudah dinyatakan sebagai  bencana non-alam.

"Oleh karena itu wajib hukumnya bagi pemerintah untuk menanggung biaya vaksinasi bagi seluruh warganya, tanpa kecuali," ujarnya.

Hidup sehat dan kesehatan, dia melanjutkan, adalah hak azazi bagi warga negara yang dijamin oleh Konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Dalam hal ini adalah hidup sehat terbebas dari potensi keterpaparan virus Covid-19.

Ia mengakui, selama ini Pemerintah telah menanggung seluruh biaya perawatan pasien Covid-19 yang rata-rata mencapai Rp 80 juta per kasus sehingga membiayai vaksin yang berkisar antara Rp 25 ribu per dosis (vaksin COVAX GAVI WHO, termasuk vaksin Moderna) hingga Rp 200 ribu per dosis (vaksin Sinovac) layak untuk dilakukan. Jadi artinya secara finansial pemerintah sesungguhnya masih mempunyaai kemampuan untuk melakukan hal itu.

"YLKI sangat mengkhawatirkan, kalau cakupan imunisasi Covid-19 rendah, maka kekebalan kelompok (herd immunity) yang tercapai dengan cakupan 70-80  persen penduduk, tidak akan terwujud," katanya. Artinya, dia melanjutkan, upaya untuk membendung wabah Covid-19 dengan instrumen vaksin, akan sia-sia belaka.

Kalau pemerintah merasa kesulitan atas tekanan finansial yang dialaminya, dia melanjutian, pemerintah bisa melakukan konversi terhadap subsidi energi. Sebagian subsidi energi bisa dialihkan untuk menggratiskan biaya vaksinasi warga.

"Atau, bisa juga pemerintah menambah prosentase kenaikan cukai rokok pada 2021, misalnya menjadi 23 persen, dari rencana semula yang hanya 17 persen saja,"  ujarnya. YLKI meminta dengan sangat agar pemerintah menanggung seluruh biaya vaksinasi Covid-19 bagi warganya demi memberikan jaminan rasa rasa aman bagi warganya.

photo
Vaksin Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement