REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Nasdem akan menggelar konvensi calon presiden Republik Indonesia 2024. Agar konvensi itu bisa menghasilkan calon pemimpin terbaik, Nasdem pun meminta masukan dari para ahli dan pengamat terkait rencana tersebut.
"Kita ingin pandangan dari para pakar terkait konvensi, baik dari aspek sosiologis, filosofis, praktis, mekanisme, substansi, surveinya dan lain-lain sehingga aspeknya luas. Untuk mendapatkan konsepsi yang mendalam memang bisa diskusi 10 kali," kata Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem Siti Nurbaya dalam keterangan tertulis.
Siti yang kini menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan proses konvensi Capres bisa dimulai pada akhir 2021 atau awal 2022. Pada prinsipnya, Nasdem sebagai partai modern dengan jargon antimahar ini ingin ada pendidikan politik yang baik untuk negeri ini.
Dalam diskusi yang digelar pada Rabu (18/11) lalu itu, hadir sejumlah pengamat politik seperti J Kristiadi, Arya Fernandes, Umbu Pauta, Noory Okhtariza, Phillips J Vermonte, Ray Rangkuti, dan Hamdi Muluk. Diskusi digelar secara hybrid, online dan offline.
Ketua Dewan Pertimbangan Nasdem Siswono Yudo Husodo mengungkapkan, ide konvensi sebenarnya muncul sudah lama. Tepatnya sejak pilpres selesai lalu. "Niat konvensi ini sangat baik untuk mencari putra terbaik. Peran parpol ini kan sangat strategis, maka tugasnya adalah mencari putra terbaik dengan cara konvensi," ujarnya.
Siswono melanjutkan, jika Parpol dan rakyat mencari pemimpin terbaik, maka akan tercipta primus interpares. Yaitu sistem pemilihan seorang pemimpin yang cara pelaksanaannya berdasarkan musyawarah dengan berbagai kriteria unggul yang harus dimiliki.
"Menghasilkan orang yang baik-baik di antara orang yang baik-baik," ucapnya.
Ia melanjutkan, kendala paling besar yang dihadapi oleh partainya dalam mencari pemimpin terbaik, adalah terkait aturan presidential threshold (PT) atau ambang batas mengajukan capres sebesar 20 persen. Siswono mengatakan dengan adanya aturan tersebut, maka hanya PDIP saja yang bisa mengajukan sendiri capres.
Sementara Nasdem dan parpol lain harus berkoalisi untuk memenuhi presidential threshold. Sementara terkait aturan siapa yang bisa ikut dalam konvensi capres Nasdem, Siswono mengatakan aturan secara umum adalah WNI berusia di atas 40 tahun. Sedangkan aturan khususnya misalnya memiliki kapabilitas. Selain itu perlu mempertimbangkan pula ideologi dan finansial.
Pengamat politik dari CSIS, J Kristiadi mengaku senang dengan rencana Nasdem menggelar konvensi. Langkah ini merupakan sebuah terobosan. Namun, di sisi lain, dia juga merasa sedih jika konvensi ini menjaring dari luar. Ini artinya partai ini tidak mampu mencetak kadernya sendiri. Partai hanya sibuk administrasi tapi lupa membina kader sendiri.
Sedangkan pengamat politik Arya Fernandes mengatakan bahwa dalam konvensi dan seleksi kepemimpinan mensyaratkan adanya pencalonan yang terbuka, demokratis, dan kompetitif. Selain itu, terbukanya ruang kontestasi yang partisipatoris, meningkatnya loyalitas kader dan pemilih partai, serta terbentuknya party-id yang kuat.
Konvensi ini pun harus memberi efek kepada partai. Efek itu bisa berupa perolehan suara partai, berefek terhadap terbentuknya koalisi, serta terbangunnya narasi positif dalam seleksi kepemimpinan nasional.
’"Kita bisa belajar dari konvensi parpol-parpol sebelumnya, yakni soal potensi pembelian suara dan konvensi berbiaya mahal. Dan kita bisa belajar soal kegagalan konvensi karena kesulitan memenuhi syarat pencalonan dan perubahan arah politik Ketua Umum," ujarnya.
Pengamat politik Phillips J Vermonte juga sangat mendukung rencana konvensi partai Nasdem. Jika Nasdem duluan menggelar konvensi, kemungkinan partai lain akan mengikuti. Dia berpesan agar Nasdem bisa menjamin adanya loyalitas dari partai-partai. Termasuk loyalitas Nasdem terhadap hasil konvensi.
"Kalau partai lain tidak melihat adanya itu (loyalitas Nasdem terhadap hasil konvensi), mereka (partai-partai) tidak akan ikut. Kegagalan konvensi Golkar dan Demokrat harus menjadi pembelajaran berharga," kata Phillips.