REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Akmal Malik, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memetakan berbagai kendala dalam penggunaan sistem informasi rekapitulasi elektronik (Sirekap) pada Pilkada 2020. KPU harus mengantisipasi sejumlah persoalan terkait penggunaan sistem rekapitulasi elektronik itu.
"Perlu dipetakan kondisi-kondisi di lapangan yang memungkinkan ketidaksempurnaan di dalam tatanan implementasi," ujar Akmal dalam rapat bersama Komisi II DPR RI, Kamis (12/11).
Menurut dia, KPU tak bisa hanya bergantung pada regulasi atau norma yang sudah diatur dengan baik. Jika kondisi di lapangan tidak dipetakan dengan baik akan berdampak pada ketidaksempurnaan implementasi Sirekap.
Selain itu, Kemendagri juga mengingatkan penyelenggara atas tantangan pelaksanaan Pilkada 2020 dalam kondisi pandemi Covid-19. Beban penyelenggara dan pemerintah cukup berat terhadap dampak-dampak yang berpotensi terjadinya permasalahan dalam gelaran pilkada serentak di 270 daerah ini.
"Ketidaksempurnaan ini juga akan bisa berdampak menambah beban kita terhadap legitimasi pelaksanaan Pilkada 2020. Ini konteksnya untuk mengingatkan bahwa kita ingin membangun pilkada yang betul-betul legitimasinya nanti tidak dipersoalkan semua pihak," kata Akmal.
Ia memberikan catatan, KPU belum mengatur norma yang detail terhadap kondisi apabila proses mengunggah formulir hasil penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) gagal dalam 24 jam. Sebab, ada kendala akses internet di sejumlah wilayah.
Namun, rapat antara KPU, Bawaslu, pemerintah, dan Komisi II ini memutuskan, Sirekap tidak menjadi instrumen resmi rekapitulasi hasil penghitungan suara. Sirekap hanya menjadi alat bantu penghitungan dan rekapitulasi serta publikasi hasil penghitungan dan rekapitulasi.
"Hasil resmi penghitungan dan rekapitulasi suara Pilkada Serentak 2020 didasari oleh penghitungan manual," kata Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, saat membacakan kesimpulan rapat.