Kamis 12 Nov 2020 13:18 WIB

Utang Berlebihan Indonesia, Ini Kata Legislator

Utang dalam jumlah super jumbo tidak menyelematkan Indonesia dari jurang resesi.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan.
Foto: dpr
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyoroti jatuhnya Indonesia ke dalam jurang resesi. Dia menyebut, utang berlebihan yang dilakukan pemerintah Indonesia ternyata tetap tak mampu menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi. 

"Utang dalam jumlah super jumbo ternyata tidak menyelematkan Indonesia dari jurang resesi," kata Heri melalui keterangan yang diterima Republika.co.id, Kamis (12/11).

Heri mengingatkan, Posisi utang Pemerintah telah mencapai Rp 5.756,87 triliun per September 2020. Rasio utang terhadap PDB mencapai 36,4 persen dari PDB. Sekitar 85 persen utang tersebut berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 4.892,57 triliun. 

Mayoritas SBN dari mata uang domestik Rp 3.629,04 triliun yang terbagi lagi menjadi Rp 2.973,01 triliun dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Rp 656,03 triliun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk. Dan SBN dari valuta asing atau valas senilai Rp 1.263,54 triliun. 

Sementara utang dalam bentuk pinjaman mencapai Rp 864,3 triliun. Terdiri pinjaman asing Rp 852,97 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp 11,32 triliun.

Pada Desember 2019 utang pemerintah hanya Rp 4.778 triliun. Namun, sampai dengan Pemerintah 2020, utang Pemerintah telah bertambah menjadi Rp 5.756,87 triliun. Dengan demikian utang pemerintah telah meningkat senilai Rp 978 triliun.

"Idealnya, dengan utang sebesar itu dapat menggerakkan seluruh sektor perekonomian agar tidak terpuruk. Namun faktanya, ekonomi tidak menggeliat seperti yang diharapkan," kata Heri.

Bila ditelisik lebih jauh, menurut Heri, penambahan utang dalam jumlah signifikan tidak sepenuhnya untuk program pemulihan ekonomi. Tahun ini setidaknya pemerintah harus menyiapkan uang lebih dari Rp 300 triliun hanya untuk membayar bunga utang. 

Berdasarkan Perpres 72/2020 porsi belanja Pemerintah untuk membayar bunga utang telah melonjak dari 12 persen naik menjadi 17 persen dari PDB. Besaran bunga utang juga sepadan dengan 25 persen dari penerimaan perpajakan (pajak ditambah bea dan cukai).

"Indonesia terjebak dalam sistem gali lubang tutup lubang. Berutang untuk membayar utang. Inilah yang menyebabkan perekonomian tidak sehat dan rentan terjerumus ke dalam resesi," ujar dia. 

Menurut Heri, keadaan bisa kembali membaik bila Pemerintah tepat dan cepat dalam mengeksekusi kebijakan pemulihan. Salah satu kebijakan yang perlu diperbaiki, yaitu efektivitas jaring pengaman sosial (bansos) untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga.

Selama ini, menurut dia program Bansos belum berjalan efektif dan efisien. Jika program bansos ini sudah tepat, seharusnya aktivitas ekonomi di sektor riil tidak minus. Kunci ekonomi Indonesia ini ada di sektor rumah tangga, jadi daya beli masyarakat harus ditopang. Kalau konsumsi rumah tangga sampai minus, artinya program Bansos tidak ada efeknya.

Berdasarkan laporan BPS, konsumsi rumah tangga mengalami konstraksi dua kali yaitu pada kuartal II-2020 minus 5,52 persen (yoy) dan pada kuartal III-2020 minus 4,04 persen (yoy). Ia mengatakan, Pemerintah harus lebih fokus agar Bansos untuk sektor rumah tangga dapat berjalan secara efektif, efisien dan tepat sasaran. 

"Pulihnya konsumsi rumah tangga akan mampu menggerakkan sektor-sektor lainnya sehingga Indonesia terbebas dari malapetaka krisis ekonomi," ujarnya menambahkan. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement