REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Munculnya pandemi Covid-19 dinilai sebagai akibat dari kerusakan hutan di berbagai belahan dunia. Hal ini diungkapkan ahli zoologi dan biologi konservasi Indonesia, Profesor Jatna Supriyatna dalam diskusi virtual.
Menurut Jatna, World Wildlife Fund (WWF) 2020 pernah menyebut kerusakan alam di dunia ini sangat dahsyat. Kondisi ini telah menimbulkan dampak negatif, baik di darat, laut maupun udara. "Lingkungan kita memang mungkin perlu ada healing, harus memperbaikinya bagaimana," kata Dosen FMIPA, Universitas Indonesia (UI) ini.
Jatna menilai, terdapat hubungan antara pandemi Covid-19 dengan kerusakan hutan. Kerusakan hutan di Brazil misalnya bisa menimbulkan penyakit zika. Deforestasi di Cina, Vietnam dan Asia Tenggara telah memicu munculnya SARS serta ebola di Afrika. "Tentu saja ini ada hubungannya dengan kerusakan hutan. Ada hubungannya dengan penangkapan satawa liar dan sebagainya," jelasnya.
Jatna menjelaskan sejumlah fase bagaimana kerusakan hutan menyebabkan satwa liar dan manusia semakin dekat sehingga menimbulkan beberapa dampak. Pertama, fase di mana manusia masih suka bertani dan berburu. Kondisi hutan masih luas dan biodiversitas satwa cukup bagus sehingga dapat dikatakan interaksinya normal.
Kemudian mulai terjadi pengrusakan hutan oleh manusia untuk perumahan, pertambangan dan sebagainya. Situasi ini memudahkan manusia menangkap satwa liar dengan jala dan alat lainnya. Termasuk penangkapan kelelawar lalu dijualbelikan dan dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Selanjutnya, jumlah manusia terus bertambah terutama di negara dengan hutan yang cukup luas. Urbanisasi manusia yang besar-besaran menyebabkan hutan mengalami penyusutan. Habitat satwa yang hilang menyebabkan kehidupannya semakin dekat dengan manusia.
Begitu hutan semakin menyusut, maka yang paling banyak kehilangan itu karnivora. "Harimau hilang di Jawa. Semua pemakan karnivora hilang, sehingga apa yang terjadi? Itu satwa misalnya primata, kelelawar, babi biasanya cepat menyebar. Hewan pembawa virus bakteri dan macam-macam mikroba," kata Peneliti di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tersebut.
Jatna menegaskan, biodiversitas yang bagus pada dasarnya bisa menurunkan penyakit menular pada ekologi komunitas. Dengan biodiversitas yang tinggi, maka jumlah kutu, bakteri dan sebagainya stabil. Namun ketika keanekaragaman tersebut hilang, maka seluruhnya menjadi tidak stabil lalu berpotensi memunculkan zoonosis.