REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Fakultas Kehutanan UGM, Dwiko Budi Permadi, mengembangkan madu Wanagama sebagai alternatif penghidupan warga. Ini dilakukan seiring membaiknya ekosistem hutan wanagama, yang arah pengembangannya ke hasil hutan non-kayu.
Madu Wanagama merupakan salah satu madu yang berfungsi sebagai pangan fungsional kesehatan masyarakat, serta membantu penyerbukan tanaman hutan dan pertanian. Sesuai namanya, madu ini dikembangkan dari lebah di area hutan pendidikan Wanagama seluas 622.25 hektar.
Madunya dikembangkan dari jenis Apis cerana, bukan Apis mellifera yang sering dibudidayakan skala industri. Jenis ini dikenal sebagai lebah lokal Indonesia, sama seperti apis dorsata dan beberapa lebah lainnya yang hidup di hutan-hutan.
Sedangkan, Apis mellifera didatangkan dari Australia. Dwiko mengatakan, asal mula pengembangan madu dimulai era 1980an, saat Wanagama jadi tempat uji coba spesies yang cepat tumbuh salah satunya Acacia mangium untuk hasilkan kayu pulp unggul.
Mangium ternyata menghasilkan nektar ekstra floral dari ketiak daunnya, sehingga cocok jadi habitat lebah Apis cerana. Sebab, lebih sering mengeluarkan nektar di luar nektar bunga, yang berbunga hanya setahun sekali.
Saat mangium ditebang karena tua dan terserang penyakit, koloni lebah banyak yang hijrah, produksi madu menurun. Ini sadarkan warga sekitar dan pengelola Wanagama mempertahankan jenis-jenis penghasil nektar dan polen sebagai sumber pakan lebah.
"Madu Wanagama dijaga ketat agar tidak diberi tambahan pakan, selain dari nektar dan polen. Ini yang membedakan dari madu budidaya yang sering diberikan tambahan pakan buatan bukan dari nektar," kata Dwiko, Ahad (8/11).
Pengembangan melibatkan kelompok tani lebah dengan anggota 40 petani sekitaran Hutan Wanagama, terutama Banaran, Gading, Gunungkidul, Yogyakarta. Pengembangan fokus skala rumah tangga, Wanagama mengolah setelah panen agar kualitas terjaga.
Proses pemanenan madu diekstraksi madu dari sarang dengan dengan pemanasan pada suhu di atas 70 derajat celcius 20 menit. Cara ini memang menuai pro kontra sebab ada literatur yang menyebut terjadi kerusakan nutrisi dan kimia jika dipanaskan.
Tapi, itu hanya berlaku untuk madu kemasan yang telah ke luar dari sarang. Dari hasil uji kimia yang mereka lakukan di Lab Konversi Biomaterial Fakultas Kehutanan UGM, terbukti yang dipanaskan lebih baik hasilnya.
"Karena hasil inilah, proses ekstraksi madu tidak menggunakan teknologi yang umum digunakan peternak lebah budidaya," ujar Dwiko.
Dwiko menuturkan, produksi madu dari Hutan Wanagama capai 680 liter atau hampir satu ton untuk satu musim. Hasilnya berasal dari sekitar 17 blok yang tersebar di enam petak Wanagama dengan jumlah kotak lebah kurang lebih 500-600 koloni.
Total kotak tersebar lebih dari 2000, namun hanya seperempat yang terisi koloni. Madu yang dipasarkan Wanagama relatif lebih mahal dibanding di pasaran, harganya sekitar Rp 600-700 ribu per liter tergantung kemasannya.
Selain lebah apis cerana, Wanagama mengembangkan lebah tanpa sengat (stingless bee) klanceng atau Trigona sp. Klancengisasi dilakukan di halaman rumah warga melibatkan ibu-ibu PKK Desa Banaran, jadi hasilnya menunjang pangan fungsional.
"Lebah tanpa sengat tentu lebih ramah bagi perempuan. Untuk sumber nektar kami kembangkan tanaman bunga air mata pengganti yang berwarna merah dan pink dan berbunga sepanjang tahun," kata Dwiko.