Sabtu 07 Nov 2020 10:12 WIB

Perlukah Berterima Kasih Pada Pikiran Kolonial?

Hutang pada Penjajahan dan Dekolonialisme Pengetahuan

Suasana rakyat kala pandemi Malaria melanda di awal tahun 1900-an.
Foto: DR Imas Emilia
Suasana rakyat kala pandemi Malaria melanda di awal tahun 1900-an.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Nia Deliana. Kandidat Doktor di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia dan Co-founder Pusat Kebudayaan Aceh-Turki. Saat ini berdomisili di Turki.

 Akhir-akhir ini, topik-topik seputar peristiwa ratusan tahun yang lalu, kembali segar didiskusikan. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau ini dijajah secara berangsur dan merata oleh bangsa Eropa (Portugis dan Belanda).

Interpretasi dan pola pandang berbentuk optimisme dan pesimisme penjajahan kian beragam, termasuk soal pro-kontra adanya luka yang masih berimbas pada fabrik sosial dan politik dalam hidup generasi-generasi saat ini. Pun demikian antara sesama, kedalaman ini kerap berhadapan pada kebodohan dan pengabaian yang tak kunjung terpulihkan meskipun telah 75 tahun mengklaim diri ‘bebas’ dari penjajahan.

Dari Ibukota ke provinsi, dari provinsi ke pedesaan dan dari hati ke hati, Kita masih terikat dengan legasi psychepenjajahan. Pengabaian sistemik pada sustainabilitas konservasi sejarah Gampung Pande di Aceh adalah contoh miris yang tak bisa dibantah.

Kebal dengan Kejahatan Kolonial

Dalam jumlah signifikan penduduk negara-negara Eropa, ada tingkat sensitifitas dan ketidaknyamanan jika dihadapkan pada diskusi-diskusi kolonialisme sebagaimana diakui sendiri oleh beberapa sarjana Eropa seperti Julianne Hammer (IISS6 lecture series, 2019), yang ia utarakan tanpa menekankan dukungan pada gesture tersebut. Kita maklumi jika ini merupakan imbas pengakuan pada kejahatan masa lalu.

Yang tak mungkin dipahami adalah puji-pujian bagi legasi kolonialisme yang akhir akhir ini mendapatkan naungannya dalam tempuran-tempuran keyboard sosial media yang kemudian dikedepankan secara formal dan bangga oleh Bruce Gilley (ewmagazine.nl, 2018). Gilley yang menjustifikasi kiprah kolonialisme dan penekanan pada sisi baik menjadi figure professional kulit putih yang paling disenangi kaum far-right Eropa. Topik ini terus dibincangkan baik secara pertentangan maupun dukungan, termasuk dalam masyarakat bekas Negara jajahan.

Bagi penyimak yang kebebasan hak hidup leluhurnya terjarah, pembelaan yang datang dari Negara-negara aktor jajahan tidak lebih menyakitkan dari suara-suara dukungan lunak yang berasal dari dalam negeri. Ada dua golongan dalam hal ini. Yang pertama adalah golongan mahasiswi/wa yang merasakan positifitas dan optimisme pendidikan di negara Eropa, baik melalui sponsor pribadi atau sponsor institusi pendidikan luar negeri.

Saya menyaksikan sendiri misalnya pendapat “penjajahan juga ada sisi baiknya…” dengan merujuk pada perkembangan teknologi dan budidaya industri percetakan yang menjadi dalih untuk setidaknya tidak sepenuhnya menyalahkan otoritas penjajah pada kerugian-kerugian dan korban-korban kematian pribumi, melainkan pada mereka koloni yang kalah dalam persaingan superioriti ekonomi dan ilmu pengetahuan.

Saya kira pandangan ini adalah hasil dari bacaan-bacaan dan diskursi selama masa belajarnya di Eropa, meskipun pada realitanya kemajuan di kampung halaman sang teman tidak beranjak dari efek kerusakan akibat penjajahan yang baru berhenti 75 tahun belakangan.

Luka penjajahan menjadi kebal ketika berbaur dengan psikologi dan lingkungan intelektual Eropa yang tidak melihat pentingnya  diskursi gugatan-gugatan terhadap penjajahan.

Gejala negatif ini terlihat semakin sewenang-wenang ketika badan-badan institusi pendidikan menciptakan kolam pemikir hanya untuk satu aliran, sebagaimana yang diakui oleh Prof Naoko Shimazu dalam sela-sela pengajaran virtual yang diselenggarakan oleh Asia Research Instutite beberapa bulan lalu.

Tepatnya ia menyebut bahwa rekrut akademik itu misalnya berdasarkan kesamaan budaya pikiran yang bisa dijabarkan dalam jenis ideologi, geneologi ilmu, budaya, dan pendekatan pada agama tertentu. Dengan situasi lingkungan pendidikan yang menyempit ini, secara alamiah, kritik-kritik terhadap eurosentrisme, apalagi dari Negara-negara penerima benefisiari, misalnya dapat memperkecil kesempatan untuk bersuara dan didengar secara sejajar dengan pengayom budaya dominan.

Kelompok selanjutnya adalah bekas generasi Kelas Dua dalam rejim kolonial. Generasi ini adalah mereka yang menyerah dan berkerjasama dengan Belanda kemudian mendapatkan akses keuntungan secara turun-menurun, baik lewat pengelolaan lahan ekonomi, pengurusa administrasi atau lewat pendidikan gratis pasca kolonial politiek etische yang ditegakkan oleh Snouck Hurgronje tahun 1901.

Golongan leluhur generasi ini tidak hanya pejuang Muslim yang kemudian menyerah tetapi juga pribumi bukan Muslim yang sejak awal secara alamiah berkecimpung dalam kelancaran bisnis, administrasi dan pasifikasi Belanda. Generasi dari kelompok ini hingga saat ini bisa ditemukan menjabat posisi-posisi penting dalam pemerintahan di ibukota atau provinsi, dan sektor swasta di Indonesia.

                               

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement