REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Rr Laeny Sulistyawati, Zainur Mashir Ramadhan
Pemerintah pada Senin (3/11), merilis penambahan 2.618 kasus konfirmasi positif Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Ini adalah kali ketiga penambahan kasus harian Covid-19 di Indonesia berada pada angka 2.000-an, setelah yang terakhir kali sempat tercatat pada 7 September 2020 dengan 2.880 kasus. Setelah tanggal tersebut, kasus Covid-19 selalu bertambah di atas 3.000 orang per hari.
Bahkan sejak pertengahan September sampai akhir Oktober, penambahan kasus harian di atas 4.000 orang jamak ditemukan. Puncaknya, 4.850 kasus baru dilaporkan pada 8 Oktober 2020. Namun setelahnya, berangsur-angsur grafik penambahan kasus harian Covid-19 mulai melandai.
Hingga akhirnya pada Jumat (30/10) lalu, kasus baru kembali tercatat 'rendah' dengan 2.897 kasus dan Ahad (1/11) dengan 2.696 kasus.
Pada Selasa (3/11), Juru Bicara Pemerintah Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan perkembangan kasus Covid-19 di tingkat nasional yang cenderung menurun pada pekan ini. Penurunan kasus pada pekan ini bahkan tercatat sebesar 17,1 persen dibandingkan pekan sebelumnya.
“Ini adalah perkembangan ke arah yang lebih baik karena kasus positif mengalami penurunan. Penambahan kasus positif harus terus menerus turun setiap minggunya,” kata Wiku saat konferensi pers, Selasa (3/11).
Namun, kondisi ini tentunya belum membawa kesimpulan bahwa pandemi Covid-19 mulai mereda. Alasannya, turunnya jumlah kasus baru seiring dengan anjloknya kapasitas pemeriksaan spesimen.
Sebagai contoh, jumlah spesimen yang diperiksa per 2 November pukul 12.00 WIB sebanyak 26.661 spesimen. Angka tersebut jauh di bawah kemampuan pemeriksaan pada Sabtu (31/10) yang mencapai 29.001 spesimen atau kapasitas testing pekan lalu yang masih bertengger di atas 30.000 spesimen per hari.
Sementara itu, jumlah suspek juga menurun menjadi 59.500 orang pada Senin (2/11). Angka ini lebih rendah dari jumlah suspek pada Ahad (1/11) kemarin sebanyak 61.215 orang.
Secara umum, jumlah suspek memang dilaporkan terus menurun. Penurunan paling signifikan terjadi pekan lalu, dari 169.833 orang suspek pada Rabu (28/10) menjadi 68.888 orang suspek pada Kamis (29/10).
Ihwal penurunan jumal testing diakui oleh Satgas. Wiku hari ini menjelaskan, penurunan jumlah testing karena adanya perbaikan dan penyelarasan koordinasi pelaporan data dari daerah ke pemerintah pusat.
“Bahwa sedang terjadi perbaikan dan penyelarasan koordinasi pelaporan data dari daerah, kabupaten kota, ke provinsi, dan ke pusat atau kementerian kesehatan. Dan ini merupakan bagian dari proses satu data Covid dan interoperabilitas data pusat dan daerah,” ujar Wiku.
Wiku mengatakan, perbaikan koordinasi pelaporan data ini terkait dengan pengumpulan dan validasi data yang jumlahnya sangat besar dan membutuhkan waktu. Karena itu, pengumpulan data hingga saat ini belum benar-benar dilakukan secara real time.
Setelah dilakukan proses verifikasi di tingkat daerah dan pusat, Satgas juga mengantisipasi terjadinya perubahan data selanjutnya. Pemutakhiran data yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan ini berdasarkan input dari tiap provinsi.
Wiku menegaskan, Satgas terus mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan testing secara optimal sebagai upaya deteksi dini terhadap kasus positif di tiap daerah. Ia juga menyebut perlu dilakukan evaluasi terhadap operasional laboratorium.
Berdasarkan analisis data, justru terjadi tren penurunan testing setiap akhir pekan atau saat libur panjang. Hal ini pun menjadi ‘PR’ yang harus diselesaikan pemerintah.
“Ini tantangan yang sedang kami coba selesaikan. Ingat bahwa virus ini tidak pernah libur sehingga adanya hari libur bisa diantisipasi misalnya melalui penambahan shift kerja laboran, tentu dengan pertimbangan insentif yang memadai,” ucapnya.
Turunnya kapasitas testing Covid-19 di Indonesia pada akhir pekan lalu dikeluhkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ketua Satgas IDI Zubairi Djoerban mempertanyakan kapasitas testing Covid-19 di Indonesia yang tak mencapai 30 ribu testing per hari yang dicanangkan Presiden Jokowi.
"Iya masak enggak bisa tercapai, katanya alat dan dana ada banyak,’’ tuturnya.
Zubairi menilai, alasan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menyebut libur akhir pekan menjadi penyebabnya, adalah alasan kurang rasional. Apalagi, jika menyangkut kemerosotan testing yang mencapai 10 ribu spesimen dari target awal.
"Sabtu-Ahad libur katanya, ya memang di manapun seperti itu. Tapi kan bisa ada solusinya. Misal diberi insentif, sehingga pegawai atau teknisi mau masuk," katanya.
Menurut Zubairi, jumlah tes ideal di Indonesia, setidaknya mencapai angka 30-50 ribu per harinya. Hal itu, ditujukan agar tracing, karantina dan pencegahan lainnya bisa dilakukan secara masif, jika diketahui siapa yang telah positif Covid-19.
Zubairi membandingkan jumlah testing di Indonesia dengan China. Beijing, kata dia, sempat menerima laporan kasus baru. Namun, jumlah testing dan kesigapan di Beijing ia sebut sangat baik, sehingga kasus tertahan dan perlahan menghilang.
"Waktu ada kasus baru di Beijing, tes harian awalnya 50 ribu, lalu 100 ribu, berlanjut ke 300 ribu per hari. Bahkan, sempat di atas satu juta tes per hari. Itu Beijing saja, bukan China.’’ ungkap dia.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono meminta untuk jangan mempercayai statistik mengenai Covid-19 di mana kemampuan testing-nya turun. Jika kasus positif dan suspek berkurang, belum tentu karena kasusnya memang turun.
"Jangan percaya statistik yang testing-nya turun. Testing di Indonesia kan sangat terbatas, kalau spesimen yang dites dikurangi ya berkurang saja semuanya, belum tentu karena kasusnya menurun," kata Pandu saat dihubungi Republika, Senin (2/11).
Padahal, dia menambahkan, banyak peristiwa dan momen yang mungkin bisa meningkatkan kasus Covid-19 seperti aksi demonstrasi Undang-undang Ciptaker hingga cuti dan liburan panjang 28 Oktober-1 November 2020 kemarin. Ia menganalisis tidak mungkin liburan panjang membuat kasus Covid-19 stagnan.
Menurutnya, untuk menangani pandemi ini, memperkuat surveillans menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Surveillans yang dia maksud yaitu testing, pelacakan kasus, dan isolasi atau treatment (3T).
Ia menyebutkan organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) telah menetapkan bahwa testing yang dilakukan minimal 1.000 per 1 juta penduduk per pekan. Selain itu, ia meminta harusnya bukan spesimen yang menjadi hitungan pemerintah melainkan orang yang menjalani tes.
"Selama itu tidak dijalankan maka penularan masih terjadi. Kami tidak yakin pemerintah serius, karena untuk memutus rantai penularan ya dengan testing," ujarnya.