REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Dwi Agustian khawatir, libur panjang dan cuti pada 28 Oktober hingga 1 November 2020 berpotensi menambah kasus virus corona SARS-CoV2 (Covid-19). Sebab, penelitian menyebutkan, pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain bisa meningkatkan kasus Covid-19.
Dwi menjelaskan, infeksi penularan Covid-19 dari orang ke orang lain. Sementara interaksi Covid-18 identik dengan mobilitas populasi yaitu perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat bisa meningkatkan kasus baru.
"Sementara peneliti di Inggris yang menghitung setiap kenaikan 1 persen pergerakan populasi ternyata bisa meningkatkan angka kasus baru sampai 1,5 persen. Ini berlaku general," ujarnya saat mengisi konferensi virtual BNPB bertema Masyarakat Abai Protokol Kesehatan, Liburan Jadi Bencana, Sabtu (31/10).
Di Indonesia, dia menyebutkan, episentrum kejadian Covid-19 di Indonesia di Jawa Barat dan Jakarta. Di dua wilayah ini, mobilitas penduduk yang paling tinggi.
Karenanya, dia khawatir, libur panjang berpotensi memunculkan terjadi kenaikan kasus baru. Kalau tidak dilakukan upaya untuk membatasi pergerakan, kata di, kenaikan kasus bisa diprediksi secara.
"Sekarang bagaimana upaya kita mengurangi mobilitas (orang). Sebenarnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) kan memperlihatkan efektivitasnya (mengurangi Covid-19)," katanya.
Dia mencontohkan, ngara-negara lain yang efektif menerapkan katantina wilayah (lockdown) dan tidak ada mobilitas penduduk kecuali kepentingan urgen terbukti efektif menekan kasus. "Selandia Baru mereka berhasil menerapkan itu, selama dua bulan saja tidak ada pergerakan orang keluar rumah sama sekali. Hasilnya tidak ada kasus baru Covid-19 per Juni 2020," katanya.