Sabtu 31 Oct 2020 18:33 WIB

 'Pilih Vaksin Covid-19 tak Seperti Beli Pisang Goreng'

Vaksin Covid-19 boleh diekspor setelah lolos uji pre klinik, klinik, dan izin WHO.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Agus Yulianto
Uji klinis vaksin Covid-19 sedang dikembangkan oleh sejumlah perusahaan dan negara di dunia. Perusahaan AstraZeneca namun harus menunda uji klinis vaksinnya setelah seorang relawan mengalami reaksi negatif. (Ilustrasi)
Foto: AP Photo/Hans Pennink
Uji klinis vaksin Covid-19 sedang dikembangkan oleh sejumlah perusahaan dan negara di dunia. Perusahaan AstraZeneca namun harus menunda uji klinis vaksinnya setelah seorang relawan mengalami reaksi negatif. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical Advisory Group Group on Imunizazation/ITAGI) menegaskan, adalah keputusan pemerintah Indonesia memilih dan membeli vaksin virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) dari luar negeri termasuk Sinovac. Vaksin ini masih menjalani fase uji klinis tidak seperti membeli pisang goreng. Sebab, vaksin Covid-19 boleh diekspor setelah lolos uji pre klinik dan klinik kemudian mendapatkan izin dari organisasi kesehatan dunia PBB (WHO).

"Memilih dan beli vaksin tidak seperti jual beli pisang goreng," kata Ketua ITAGI Sri Rezeki Hadinegoro saat mengisi konferensi virtual bertema 'Vaksinasi untuk Negeri', Sabtu (31/10).

Dia menjelaskan, uji klinik yang harus dilalui kandidat vaksin bertahap, mulai dari fase 1, fase 2, dan fase 3. Kalau di fase 1 saja vaksin sudah tidak aman, maka pasti tidak akan diteruskan atau drop. 

"Atau ketika vaksin disuntikkan pada binatang percobaan kemudian binatangnya mati, ya tidak mungkin diteruskan," katanya.

Dia menegaskan, sisi keamanan pasti harus dipastikan dan bertahap sebagai skrining. Bahkan, kata dia, terkadang kandidat vaksin yang bisa melewati tahap uji pre klinik hanya 7 persen, sementara yang lain gagal. 

Menurut dia, kandidat vaksin yang bisa maju ini kemudian menjalani fase berikutnya. Artinya ketika vaksin berada di fase 3, maka harus bisa melampaui fase 1 dan 2. 

Kata dia, kandidat vaksin tidak mungkin berada di fase 3 kalau tidak aman. Karenanya, sebuah perusahaan yang mengekspor vaksin ke luar negeri harus mendapat izin dari WHO. Ini terkait bagaimana mengawasi keamanan vaksin. 

"Nah, begitu tiba di Indonesia, vaksin ini masih harus mendapatkan izin persetujuan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)," ucapnya. Ia menjelaskan, EUA  dikeluarkan untuk mempercepat penyuntikan vaksin.

"Sebelumnya BPOM melakukan analisis uji klinik. Ada pemantauan tiga bulan untuk melihat titer antibodi. Mereka bisa ukur berapa antibodi yang naik, sehingga ada harus ada data sebelum disuntik dan setelah disuntik," tuturnya lagi.

Penilaian ini diakui juga dilakukan saat uji klinik fase 3 vaksin Sinovac yang tengah dilakukan di Bandung, Jawa Barat. Dia menyebutkan, darah sukarelawan diambil untuk menilai antibodi, baik sebelum disuntik, dua pekan setelah mendapatkan injeksi, kemudian tiga bulan kemudian, hingga enam bulan untuk melihat kenaikan antibodi berapa. 

Dia menilai, uji klinik Vaksin Sinovac terkendali dan efek sampingnya sangat ringan sejauh ini. 

"Kita harus percaya karena ini (vaksin Covid-19) adalah penelitian yang didesain begitu bagus dan valid, dikerjakan dengan kehati-hatian menurut standar yang ada," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement