REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Berdasarkan analisis Jikalahari Riau, sisa hutan alam di Riau hanya tinggal seluas 1.442.669 hektare dari sebelumnya dari pencatatan pengukuran luas hutan alam provinsi itu tahun 1982 seluas 6.727.546 hektare. Data itu didapat melalui Citra Landsat 8-OLI dan Sentinel-2.
"Makin berkurangnya luas hutan alam Riau antara lain lebih akibat terjadinya peningkatan deforestasi hingga mencapai tiga kali lipat dibandingkan tahun 2018," kata Made Ali, Koordinator Jikalahari dalam keterangannya di Pekanbaru, Sabtu.
Menurut Made, yang lebih mirisnya lagi, peningkatan deforestasi atau hilangnya hutan akibat kegiatan manusia itu justru dilakukan oleh korporasi HTI, perkebunan sawit, dan cukong-cukong yang merambah kawasan hutan lindung, konservasi, dan taman nasional. Jikalahari mencatat bahwa korporasi menguasai 2,1 juta hektare hutan alam Riau, seperti APP dan April Grup hingga deforestasi terjadi karena ada korupsi, pembakaran hutan, dan lahan yang terjadi di kawasan hutan yang seharusnya menjadi zona lindung untuk resapan air.
"Bahkan temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Provinsi Riau pada 2015 ada 1,8 juta hektar sawit illegal yang terbagi dalam 378 perusahaan. Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, hanya baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas negara," katanya.
Akibat deforestasi itu, Riau pun terancam mengalami banjir longsor dan kekeringan, sebagai dampak bencana hidrometeorologi, yakni suatu fenomena alam yang terjadi berkaitan dengan lapisan atmosfer, hidrologi, dan oseanografi yang berpotensi membahayakan, merusak, dan menyebabkan hilangnya nyawa penduduk.
"Karena itu, untuk menghentikan ancaman hidrometerologi itu hanya satu cara, yaitu dengan menghentikan kerusakan hutan alam, memulihkan dan mengembalikan fungsi hutan sebagai habitat satwa, serta memelihara keanekaragaman hayati,” katanya.