Sabtu 31 Oct 2020 13:53 WIB

Mantan Kepala BNPT Soroti Perpres Pelibatan TNI

Draf perpres pelibatan TNI keluar dari UU seperti ada istilah penangkalan. 

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Ansyaad Mbai
Foto: Prayogi/Republika
Ansyaad Mbai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai, menyoroti rencana penerbitan Perpres Pelibatan TNI itu adalah turunan dari UU Nomor 5 ini. Sebagai turunan, perpres ini tidak boleh keluar dari koridor UU Nomor 5, tidak boleh keluar dari criminal justice system.

Ia mengatakan, terorisne adalah kejahatan yang harus dibawa ke pengadilan. Menurut dia, itu prinsip dasar yang digunakan Indonesia dalam melihat tindak terorisme. 

Baca Juga

"Itu prinsip dasar yang kita gunakan sampai saat ini dan itu mengalir menjadi prinsip referensi utama dari peumusan undang-undang sampai dengan undang-undang TNI sendiri," kata Ansyaad dalam webinar "Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme" yang digelar Marapi dengan Universitas Udayana, Sabtu (31/10). 

Bahkan di UU Nomor 5 Tahun 2018, kata dia, disebutkan terorisme itu merupakan suatu kejahatan. Karena itu, pendekatan yang harus dilakukan dalam menangani tindak terorisme itu ialah pendekatan penegakkan hukum. 

Jika memang militer dilibatkan dalam penanganan terorisme untuk melakukan penangkapan atau mebdobrak tempat persembunyian para teroris, pelaksanaannya pun harus tetap ada pada koridor hukum. Itu prinsip yang harus dipegang dalam melibatkan TNI. 

"Ada UU Nomor 34 Pasal 7, pengerahan kekuatan militer dalam rangka OMSP itu harus berdasarkan keputusan politik. Itu adalah keputusan presiden setelah berkonsul dengan DPR. Ini tak boleh kita langkahi. Tidak boleh kita terobos," kata dia.

Dia menyebutkan, draf Perpres itu mendapatkan banyak reaksi dari karena ada beberapa klausul yang keluar atau tidak konsisten dengan UU Nomor 5 Tahun 2018. Misalnya, kata dia, di draft Perpres ada istilah penangkalan. 

"Penangkalan tidak dikenal dalam UU Nomor 5 itu dan penangkalan ini bisa dijabarkan dielaborasi secara luas tidak jelas. ini yang dikhawatirkan," kata dia. 

Selain itu, berdasarkan pengalaman 12 tahun menangani masalah terorisme, masyarakat sipil selalu keberatan karena melihat risiko terjadinya impunitas terhadap aparat militer. Impunitas yang terjadi jika mereka mengalakukan kesalahan bertindak. 

"Di TNI kita belum berlaku ini bahwa kesalahan di dalam lingkup peradilan umum mereka tetap peradilan militer. Ini yang masih mengganjal civil society kalau saya baca itu resolusi mereka," jelas dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement