REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- UU Cipta Kerja masih terus menghasilkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Terlebih, pemerintah maupun DPR terkesan bekerja tertutup dengan minimnya sosialisasi RUU tersebut dan minimnya keterlibatan masyarakat.
Ketua DPW Asosiasi Pengacara Syariah Yogyakarta, Dr Addiarrahman menilai, UU Cipta Kerja memang berusaha mengejar pertumbuhan ekonomi dengan melonggarkan keran investasi. Tapi, pasal-pasalnya memberi kesan akan melemahkan desentralisasi.
Sebab, peran-peran penting yang dilakukan daerah ditarik pusat, sehingga rawan sekali terjadi korupsi. Dari trilema politik, hyper globalisation, democratic policies dan nationality sovereignty, yang jadi ancaman kedaulatan nasional.
"Ketika kelonggaran-kelonggaran diciptakan, isu nasionalisme dan kedaulatan menjadi sangat terancam sekali," kata Addiarrahman dalam seminar bertajuk Pro-Kontra Omnibus Law UU Cipta Kerja di Indonesia yang digelar UII, Rabu (28/10).
Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Dr Anton Priyo Nugroho mengatakan, dalam UU Cipta Kerja ada banyak sekali pasal-pasal terkait UMKM. Karenanya, ia merasa, dari satu sisi UU Cipta Kerja itu memberikan dampak positif bagi pelaku UMKM.
Salah satunya melalui langkah-langkah yang akan lebih mempermudah hal-hal terkait perizinan. Pasalnya, memasuki bonus demografi kebutuhan lapangan kerja akan makin banyak dan tidak semua angkatan kerja dapat terserap oleh pasar tenaga kerja.
"Misal, dalam sertifikasi halal UU Omnibus Law memudahkan pemberian akses bagi UMKM dengan biaya gratis. Hal ini menguntungkan karena sebelumnya kepengurusan sertifikasi halal selain lama membutuhkan ongkos yang tidak murah bagi UMKM," ujar Anton.
Meski begitu, Direktur Pusat Studi Hukum UII, Anang Zubaidy mengingatkan, proses pembahasan UU Cipta Kerja masih menjadi misteri. Ia menekankan, perbedaan jumlah halaman bukanlah persoalan dan tata tulis penggunaan kertas.
Terlebih, penulisan naskah Peraturan Perundang-undangan sudah ditentukan di dalam lampiran II angka 284 UU No.12/2011. Yang mana, proses penyusunan ketika menyusun norma-norma itu seharusnya sudah mengikuti kaidah tersebut. "Dengan ini, proses pembahasan bila berkurang atau bertambah tidak akan signifikan," kata Anang.