Selasa 27 Oct 2020 21:54 WIB

DPR: Pelibatan TNI Tangani Terorisme Berbasis Level Ancaman

DPR mengatakan pelibatan TNI tanggulangi terorisme harus berbasis level ancaman.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Arsul Sani
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme semestinya diatur berdasarkan level ancaman, bukan peristiwa-peristiwa tertentu seperti yang kini ada pada draft Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme. Itulah hal yang sebetulnya ingin diperjelas berdasarkan semangat ketika membahas Undang-Undang (UU) Nomor 5/2018 di DPR. 

"Dulu waktu kita membahas UU Nomor 5/2018 itu mengembangkan sebetulnya semangat politik hukum baru terkait dengan pelibatan TNI atau militer itu berbasis ancaman, thread level, skala ancaman," ujar anggota Komisi III DPR RI dari fraksi PPP, Arsul Sani, dalam diskusi daring, Selasa (27/10). 

Baca Juga

Pada diskusi bertajuk "Pelibatan TNI dalam Kontraterorisme" itu, Arsul menjelaskan DPR melihat politik hukum Indonesia dalam penanggulangan terorisme harus tetap dipegang. Politik hukum Indonesia dalam penanggulangan terorisme menurutnya ada beberapa. 

"(Pertama) berbasis pada penegakkan hukum dengan merujuk pada integrated criminal justice system kita. Jadi basisnya penegakan hukum. bukan pendekatan yang bersifat militer, bukan pula pendekatan yang condong berbasis pada keamaman nasional," katanya. 

Kemudian, politik hukum Indonesia memandang terorisme itu sebagai sebuah tindak pidana, karena itu UU yang dibuat namanya pemeberantasan tindak pidana terorisme. Selain itu, kata dia, politik hukum Indonesia juga menyepakati pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme lewat UU Nomor 34/2004 tentang TNI melalui operasi militer selain perang (OMSP). 

Arsul menerangkan, dalam menyusun UU Nomor 5/2018 pihaknya berpikir untuk mengembangkan politik hukum yang baru, yakni pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme itu dilakukan berdasarkan skala ancaman. Karena itu, yang perlu diatur di dalam Perpres itu harusnya berbasis pad skala ancaman, bukan pada peristiwa-peristiwa tertentu. 

"Kita lihat dalam draft Perpres yang ada, basisnya lebih mengedepankan pada peristiwa tertentu dari terorisme. Ini yang tentu kami harus bahas, kritisi, secara proporsional," jelasnya.

Menurut Arsul, Komisi III DPR RI pada umumnya memahami pelibatan TNI porsinya dalam ranah penindakan. Namun, yang ada di dalam draft Perpres justru banyak mengatur soal penangkalan. Hal tersebut tengah menjadi pedebatan di internal Komisi III. 

"Tali secara prinsip, hemat kami, kalo kita bicara penangkalan terlepas dari substansi yang ada di dalam draft Perpres itu, penangkalan itu harus di bawah koordinasi BNPT," ucapnya.

Arsul menjelaskan, itu perlu dilakukan karena melihat politik hukum yang diletakkan di dalam UU Nomor 5/2018. Di UU tersebut, posisi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diperkuat basis eksistensinya dari yang sebelumnya hanya diatur lewat Perpres. 

"Kita masukan basis eksistensinya itu dalam UU, dan itu usulan DPR bukan pemerintah pada saat itu, maka leading sector dari kerja pencegahan itu ada pada BNPT," jelasnya.

Di samping itu, hal lain yang juga ia sorot dari Perpres TNI adalah soal anggaran. Di draft Perpres pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme terdapat aturan yang menyebut anggaran untuk penanggulangan terorisme oleh TNI itu berbasis pada APBN, APBD, dan anggaran lain. 

"Ini kami pandang tidak sesuai dengan UU TNI yang menetapkan bahwa anggaran TNI itu ya dari APBN saja, bukan darivsumber lain di luar APBN," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement