REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Antara
Setelah menyebut Indonesia akan mulai memberikan vaksin Covid-19 ke kelompok prioritas pada bulan November 2020, muncul berbagai reaksi publik yang mempertanyakan faktor keamanan vaksin Covid-19. Masyarakat khawatir kelompok prioritas justru menjadi kelinci percobaan.
Direktur Registrasi Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rizka Andalucia mengatakan, BPOM berpedoman pada prinsip kehati-hatian dalam mengeluarkan izin terkait peredaran dan penggunaan vaksin Covid-19. Termasuk dalam memberikan otorisasi penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA).
"Terhadap produk yang telah mendapatkan EUA, BPOM berkesinambungan melakukan pengawasan," kata Rizka dalam keterangan pers yang disampaikan kepada wartawan. BPOM melakukan pengawasan mulai dari proses produksi vaksin sampai distribusinya dari tingkat pedagang besar farmasi ke sarana pelayanan kefarmasian.
Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Lukito menyampaikan pemberian EUA untuk obat dan vaksin Covid-19 memungkinkan dilakukan pada masa pandemi seperti sekarang. Namun dia menekankan pemberian EUA harus didukung dengan bukti keamanan, mutu, dan khasiat obat atau vaksin serta pengawasan secara ketat.
Pengawasan, dia menjelaskan, mencakup evaluasi pelaporan realisasi pengimporan, proses produksi dan distribusi, serta pelaporan efek samping dari dokter dan tenaga kesehatan terkait. "BPOM sangat berhati-hati dalam memastikan aspek keamanan, khasiat dan mutu vaksin, di tengah percepatan ketersediaan obat dan kepastian dalam mendapatkan akses terhadap vaksin," katanya.
Ia menambahkan, BPOM juga mengawal dan menginspeksi pelaksanaan uji klinik vaksin dan obat Covid-19 untuk memastikan penerapan Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB).
Manajer Integrasi Proyek Riset dan Pengembangan Bio Farma, Neni Nurainy, mengatakan terus melakukan pemantauan terhadap efek samping atau kejadian ikutan pasca-pemberian vaksin Covid-19. "Tidak ada satu obat pun yang sempurna sehingga pasti ada efek samping. Kita dalam uji klinis (vaksin Covid-19) akan memonitoring kejadian ikutan pasca imunisasi," ujar Neni.
Dia mengatakan apapun kejadian ikutannya setelah vaksinasi, ada formulir yang harus diisi para relawan vaksin. Data tersebut dikumpulkan dan akan dianalisis.
"Jadi setelah 48 jam setelah vaksinasi akan dilihat reaksi lokal dan sistemnya kemudian selama 6 bulan tetap dipantau," jelasnya.
Dia mengatakan terkait vaksin Covid-19 Sinovac, berdasarkan penelitian terhadap fase 1, fase2 dan beberapa laporan dari fase 3, didapati bahwa gejala umum yang muncul adalah rasa sakit di tempat injeksi dan ada juga yang merasakan gejala demam dan pusing namun sangat sedikit. Dia mengatakan pemantauan akan terus dilakukan terkait kejadian ikutan pasca-vaksinasi, dan akan diberikan informasinya kepada masyarakat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengharap vaksin Covid-19 yang akan disuntikkan ke masyarakat harus melalui uji klinis yang benar sehingga dapat dipastikan keamanan dan efektivitasnya. Presiden mengatakan pemerintah tidak ingin ada sedikitpun masalah yang berdampak pada masyarakat penerima vaksin.
“Kalau disuntik betul-betul melalui sebuah tahapan-tahapan, uji klinis yang benar. Karena kalau tidak, ada satu saja yang masalah, nanti bisa menjadikan ketikdakpercayaan masyarakat akan upaya vaksinasi ini,” kata Presiden.
Presiden meminta jajarannya tidak tergesa-gesa dan tetap mengedepankan kaidah ilmiah untuk vaksin Covid-19. Semua prosedur ilmiah soal vaksin dan vaksinasi harus dilalui secara tepat, tanpa ada yang terlewat.
“Semua tahapan harus melalui kaidah-kaidah saintifik, kaidah ilmu pengetahuan, berdasarkan data sains dan standar-standar kesehatan,” ujarnya.
Sekarang ini, kata Jokowi, semua pihak, baik itu masyarakat, peneliti, akademisi dan pihak lainnya, memantau proses pengadaan dan pelaksanaan vaksin Covid-19 di Indonesia. Maka itu, seluruh tahapan pengadaan dan pelaksanaan vaksin harus sudah sesuai dengan kriteria ilmiah.
“Jangan timbul persepsi pemerintah tergesa-gesa, terburu-buru tanpa ikuti koridor-koridor ilmiah yang ada,” ujar dia.
Di satu sisi, memang pemerintah membutuhkan kecepatan dalam pengadaan vaksin Covid-19. Namun, kata Presiden, gerak cepat dalam pengadaan vaksin harus tetap mengikuti perencanaan dan persiapan yang matang.
“Karena setelah saya detailkan, ini menyangkut banyak hal aspek yang kita harus siapkan dahulu, kita harus persiapan secara matang,” ujarnya.
Kehalalan vaksin
Bukan hanya faktor keamanan yang penting, kehalalan vaksin juga menjadi pertanyaan publik. Pada dasarnya, dalam keadaan darurat vaksin dengan kandungan yang tidak halal bisa dihalalkan penggunaannya.
Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Wawan Gunawan Abdul Wachid mengatakan vaksin Covid-19 saat ini unsur halalnya masih dibahas. Muhammadiyah namun berpandangan vaksin boleh digunakan apabila keadaannya darurat.
"Boleh jadi itu dimungkinkan. Buat pihak-pihak tertentu karena alasan kedaruratan silahkan saja," kata dia saat diskusi daring dengan tema Refleksi Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Amin yang dipantau di Jakarta, Senin (26/10).
Ia berpandangan dengan pertimbangan menyelamatkan sekitar 270 juta nyawa manusia, maka cara-cara darurat boleh digunakan termasuk vaksinasi yang mungkin mengandung material tidak halal. Oleh karena itu, lanjut dia, jika ketersediaannya bisa disegerakan dengan cara yang darurat maka agamapun membolehkan.
"Keadaan darurat bisa mengalihkan keadaan yang semula tidak boleh menjadi boleh," kata lulusan Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Penggunaan vaksin yang mengandung unsur tidak halal tersebut dapat atau bisa digunakan selama vaksin halal belum ada. Namun, apabila telah berhasil ditemukan maka harus segera beralih.
"Ketika sudah ada fasilitas yang halal maka kembali kepada tuntunan perintah Allah dan penjelasan Nabi Muhammad SAW," ujarnya.
Ia menambahkan jika menggunakan analisis bayani berdasarkan keterangan ayat Alquran dan Hadis maka jawabannya tidak boleh. Namun, bila merujuk pada Maqasid Syariah maka di samping agama, nyawa juga harus dijaga.
Presiden pun meminta jajarannya melibatkan sejumlah ormas dan lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiah dalam persiapan pengadaan vaksin Covid-19. Menurut Jokowi, dilibatkannya ormas Islam dan lembaga keagamaan penting untuk memastikan kehalalan vaksin bagi umat Muslim.
"Juga agar kita libatkan dari awal majelis dan organisasi keagamaan MUI, NU, Muhamadiyah dan ormas-ormas lainnya terutama dalam menjelaskan manfaat vaksin dan meyakinkan kepada umat mengenai kehalalan dari vaksin," kata Jokowi.
Pelibatan MUI, NU, Muhammdiyah, dan ormas lainnya merupakan salah satu strategi komunikasi yang dilakukan pemerintah dalam menjalankan program vaksinasi Covid-19. Pemerintah ingin masyarakat memiliki pemahaman mengenai keamanan sekaligus kehalalan vaksin.
Jokowi secara khusus juga meminta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyiapkan strategi komunikasi tentang vaksinasi Covid-19. Presiden ingin informasi mengenai peta jalan vaksin Covid-19 bisa disampaikan secara terstruktur kepada masyarakat sehingga tidak terjadi disinformasi dan muncul hoaks.
"Penting sekali lagi strategi komunikasi publiknya disiapkan dengan baik. Saya minta ini timnya Pak Menteri BUMN disiapkan lagi mengenai strategi komunikasi ini, dibackup dibantu oleh Kominfo," ujar Jokowi.
Strategi komunikasi terkait rencana vaksinasi Covid-19 dirasa perlu mengingat banyaknya informasi yang tidak benar tersebar di tengah masyarakat. Padahal menurut Jokowi, vaksinasi merupakan salah satu solusi yang perlu ditempuh untuk membangun antibodi terhadap Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional.
"(Perlu) dijelaskan secara komprehensif kepada publik mengenai manfaat vaksin dan peta jalan pelaksanaan vaksinasi sehingga tidak terjadi disinformasi dan penyebaran berita hoaks dari berbagai platform di media yang ada," kata Jokowi.
Ditunjuknya Erick Thohir untuk menyiapkan strategi komunikasi vaksinasi bukan tanpa alasan. Produksi dan pengadaan vaksin Covid-19 sendiri melibatkan sejumlah perusahaan pelat merah di bawah naungan Kementerian BUMN. Dalam Perpres 99 tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vakinasi Covid-19 disebutkan, pengadaan vaksin dilakukan melalui penugasan kepada BUMN, penunjukan langsung badan usaha penyedian, dan atau kerja sama dengan lembaga atau badan internasional.